Publikasi

DOWNLOAD PDF:

Tantangan & Proyeksi Model Koordinasi Antar Lembaga dalam Proses Penegakan Hukum Di Sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup


Oleh: Elizabeth A. Madona, Refki Saputra, Safira Salsabila

 

Kerjasama antar lembaga dalam rangka penegakan hukum bukanlah hal yang baru di Indonesia. Tingginya permasalahan yang bersifat lintas sektoral serta adanya tumpang tindih kewenangan antar lembaga, membuat kerjasama menjadi sebuah keniscayaan. Hal mana ditujukan untuk meningkatkan output penegakan hukum dengan pendekatan yang lebih efektif. Dengan demikian, kerjasama antar lembaga sudah seharusnya menitikberatkan pada akselerasi proses tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Tidak hanya itu, aspek sinergi dan kerja sama antar instansi menjadi faktor kunci untuk mendorong upaya penegakan hukum dapat berjalan lebih optimal. Hal ini mengingat sekalipun masing-masing K/L berdiri sendiri dan menjalankan kegiatannya sesuai prosedur lembaga masing-masing, tetapi sesungguhnya setiap kerja-kerja K/L memiliki keterkaitan satu sama lain.

 

Tidak terkecuali di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH). Urgensi penerapan kerjasama di sektor ini misalnya muncul dalam hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP- SDA) yang diprakarsai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam rekomendasinya, GNP-SDA menyarakankan agar segera dilakukan revitalisasi kerja-kerja Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam mengawasi pengelolaan dan menegakkan hukum sektor SDA LH. Hal ini setidaknya dapat dilakukan melalui penambahan jumlah personil, kejelasan kewenangan dan struktur komando, serta dukungan anggaran yang memadai. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan, namun sesungguhnya sektor SDA LH yang multidisiplin mengarahkan penguatan elemen-elemen yang dimaksud mengarah para suatu kerja-kerja yang koordinatif atau kolaboratif.

 

Yayasan Auriga Nusantara bersama-sama dengan KPK telah menghasilkan suatu kajian evaluatif dan sekaligus mencoba memproyeksikan model kerjasama antar lembaga dalam penegakan hukum sektor SDA LH. Kajian ini mengulas setidaknya lima model kerjasama penegakan hukum antar lembaga yang telah dan tengah berlangsung di Indonesia, yakni Tim Pemburu Koruptor; Satgas 115; Multidoor SDA LH; SPPT TI; dan Kerjasama KPK dan PPATK dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Terdapat lima pisau analisis yang digunakan, yakni aspek kepemimpinan; dasar hukum; struktur organisasi; anggaran; dan model koordinasi.

 

Hasil kajian secara umum mendapati bahwa mekanisme koordinasi merupakan aspek paling krusial dalam menjalankan aktivitas koordinasi, dimana terdapat pembagian tugas dan peran yang jelas antara instansi yang terlibat. Selanjutnya, kepemimpinan (leadership) menjadi elemen yang harus ada untuk memastikan inisiatif koordinasi dapat bekerja optimal untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya, aspek kepemimpinan ini diklasifikasikan menjadi dua model kategori kerjasama, yakni ‘koordinasi’ dan ‘kolaborasi’. Untuk aspek koordinasi, kepemimpinan memakai pola top down dalam bentuk komunikasi vertikal antara pimpinan (koordinator) dan pelaksana (implementator). Sementara disisi lain, aspek kolaborasi menekankan pada kesukarelaan (volunterism) anggota dalam berpartisipasi, sehingga pola komunikasi yang berkembang adalah horizontal (equal) tanpa adanya hierarki.

 

Elemen pendukung berikutnya yakni struktur organisasi, dasar hukum dan anggaran – yang pada praktiknya dapat dilakukan sejumlah penyesuaian. Misalnya, perbedaan struktur organisasi dari sejumlah instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum di sektor SDA-LH, tidak secara langsung akan menghambat terciptanya koordinasi. Begitu pula dengan dasar hukum pembentukan koordinasi yang berbeda antara satu model dengan model yang lain. Dalam konteks anggaran, meski menjadi elemen penting dalam pelaksanaan kerja sama antarlembaga, pada praktiknya, dapat dilakukan penyesuaian terhadap anggaran agar seirama dengan dinamika yang terjadi di lapangan.

 

Berangkat dari analisis dan simpulan tersebut, dihasilkan beberapa rekomendasi untuk merumuskan mekanisme kerjasama penegakan hukum yang lebih efektif dan berkelanjutan. Rekomendasi ini diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni koordinasi dan kolaborasi. Pertama, baik koordinasi maupun kolaborasi membutuhkan dasar hukum yang mengikat komitmen para pihak untuk melaksanakan kerjasama dengan mencantumkan pembagian peran dan tanggung jawab secara spesifik. Kedua, dibutuhkan adanya pemimpin (koordinasi) atau sosok kepemimpinan (kolaborasi) untuk menjalankan fungsi debottlenecking terhadap kendala yang muncul pada kerjasama antar lembaga. Ketiga, penempatan seluruh anggaran kebutuhan koordinasi di instansi yang menjadi leading sector, atau alokasi anggaran pada masing-masing K/L jika yang digunakan adalah model kolaborasi. Keempat, baik koordinasi maupun kolaborasi membutuhkan penguatan kelembagaan PPNS yang saat ini tengah diupayakan oleh Kemenkumham dan Kemenpan-RB melalui pelekatan jabatan fungsional PPNS. Kelima, perumusan mekanisme kerjasama sekaligus alur pelaporan kepada pimpinan. Keenam, pembentukan database terintegrasi yang mencakup berbagai data sektoral guna mendukung penegakan hukum, disertai alur pertukaran data yang cepat dan aman.

https://gakkum-sda.id/id/publikasi/detail/tantangan-proyeksi-model-koordinasi-antar-lembaga-dalam-proses-penegakan-hukum-di-sektor-sumber-daya-alam-dan-lingkungan-hidup