Adili Penjahat Lingkungan Sorong

Oleh Editorial Media Indonesia


Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, terkepung banjir dengan ketinggian air mencapai 120 sentimeter akibat hujan deras sepanjang Senin (22/8) hingga Selasa dini hari. Dua orang meninggal dunia diterjang tanah longsor dan 9.000 jiwa lainnya terpaksa mengungsi.

Banjir dan tanah longsor di Sorong bukan semata fenomena alam. Faktor utamanya ialah keserakahan manusia terhadap lingkungan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Petaka itu bukan bukan yang pertama. Pada 15 Juli 2020, Kota Sorong juga dihantam banjir dan tanah longsor yang menyebabkan lima orang tewas dan sembilan distrik kelurahan porak-poranda.

Namun, nyatanya, para pemangku kepentingan tidak juga memetik pelajaran mahal itu. Tambang golongan galian C tetap merajalela di pegunungan di sekitar Kota Sorong, khususnya di Hutan Lindung Remu.

Pada 2020, tambang itu sudah menyebar di 10 distrik dan merangsek ke 600 hektare permukiman warga. Kajian pascatragedi banjir saat itu menemukan fakta bahwa air limpasan dari puluhan tambang itulah yang memicu tanah longsor lalu merendam kota.

Buruknya operasi perusahaan tambang tampak dari banyaknya kaidah lingkungan yang mereka langgar. Lebih celaka lagi, pemerintah daerah membiarkan saja perusahaan-perusahaan rakus tersebut terus beroperasi.

Pemerintah Kota Sorong berdalih tidak pernah menerbitkan izin, tapi perusahaan-perusahaan itu tumbuh subur atas izin atas izin Pemerintah Provinsi Papua Barat. Bahkan Pemkot Sorong pun mengeluhkan besarnya kebocoran pajak dari sektor itu. Dari perhitungan pajak sebesar Rp 60 miliar per tahun, kenyataannya hanya Rp 1 miliar yang masuk ke kas pemkot. Banyak pemilik perusahaan jemawa mengemplang pajak.

Pertengahan Juli lalu, KPK menyetop aktivitas dua perusahaan yang menunggak pajak hingga Rp 30 miliar dan satu perusahaan yang tidak memperbarui izin. Tindakan KPK itu harus dilanjutkan terhadap perusahaan-perusahaan bengal lainnya.

Tidak hanya itu, perusahaan yang jelas-jelas masuk secara liar ke kawasan hutan lindung juga harus segera ditindak. Balai Penegak Hukum Kementerian LHK semestinya melanjutkan operasi penghentian tambang ilegal seperti pernah dilakukan pada 2020. Kali ini, sudah sepatutnya pula kepolisian turut menyelidiki tindak pidana baik yang dilakukan perusahaan maupun aparat pemerintah yang menyokong bisnis bejat tersebut.

Semua penjahat lingkungan harus diadili. Keserakahan yang mereka lakukan bertahun-tahun ini adalah bencana sesungguhnya.

Pembiaran praktik kotor itu sama saja dengan mengundang petaka lebih besar. Sebab, sebagaimana terjadi di seluruh dunia, cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Korban jiwa maupun materi hanya bisa dicegah dengan ketahanan lingkungan. Sebaliknya, lingkungan yang buruk akan melipatgandakan bahaya yang datang di kemudian hari.

Potret Sorong ini sesungguhnya pelajaran bagi seluruh Nusantara. Kawasan hutan lindung adalah deposito hijau dalam menghadapi krisis iklim. Hutan lindung bukan sekadar daerah tangkapan air ataupun paru-paru wilayah. Di situ ada keanekaragaman hayati, baik untuk pangan maupun obat-obatan masa depan.

Oleh karena itu, rehabilitasi kawasan juga harus beriringan dengan penegakan hukum. Betul bahwa rehabilitas membutuhkan waktu jauh lebih lama ketimbang merusaknya. Rehabilitasi juga tidak akan mengembalikan kekayaan mineral yang sudah terkuras. Meski begitu, langkah ini tetap penting sebagai perlindungan dasar bagi kawasan urban di sekitarnya.

Pelaku kejahatan penambangan ilegal dan perusakan kawasan hutan di Sorong harus ditindak tegas dan dihukum seberat-beratnya. 

Sumber: https://epaper.mediaindonesia.com/detail/adili-penjahat-lingkungan-sorong