Kunjungan Strategis Auriga ke Kantor-Kantor CSO di Aceh

Tim Auriga Nusantara mengunjungi beberapa organisasi masyarakat sipil Aceh. Strategis untuk berkolaborasi demi penegakan hukum di sektor sumber daya alam.

Untuk menguatkan hubungan dengan civil society organization atau kelompok masyarakat sipil (CSO) di Aceh, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui implementary agency Yayasan Auriga Nusantara mengunjungi beberapa kantor CSO di Banda Aceh. Misi muhibah ini menjadi langkah strategis untuk menjalin kolaborasi antarlembaga demi mewujudkan pengawasan yang efektif terhadap penegakan hukum di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) di Sumatera, khusus di wilayah Aceh.

Dalam kegiatan tersebut, tim peneliti Auriga Nusantara mendatangi kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Gerakan Anti-korupsi (GeRAK), dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA).

Di kantor MaTA, tim Auriga Nusantara disambut Koordinator MaTA, Alfian, dan peneliti MaTA, Hafijal. Dalam diskusi bersama, Alfian mengungkapkan minimnya keterampilan atau skill aparat penegak hukum untuk menangani isu SDA. Anggaran untuk SDA, menurut dia, juga minim dan bahkan tidak tercantum dalam anggaran otonomi khusus. Selain itu, saat ini semakin banyak tambang ilegal di wilayah Aceh, terutama pertambangan emas.

Mengenai MaTA, Alfian mengatakan sejauh ini kegiatannya yang efektif justru pemberdayaan kapasitas perempuan, warga sekitar, dalam membaca data, melakukan kajian analisis dampak lingkungan (Amdal), dan meminta data publik kepada pihak yang berwenang.

Dalam kunjungan di GeRAK, tim Auriga Nusantara berdiskusi langsung dengan Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, dan Mahmuddin, Kepala Sekolah Anti-Korupsi (SAKA Aceh). Dalam diskusi, Askhalani menyampaikan mengenai perkembangan gerakan antikorupsi di Aceh.

Selain melakukan gerakan dengan aktivis di lapangan, GeRAK juga aktif melakukan advokasi, secara litigasi maupun advokasi kebijakan. Salah satu isu yang menjadi kepedulian GeRAK adalah kasus pertambangan emas ilegal. Pada 2018, GeRAK mendesak pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh, untuk menerbitkan kebijakan moratorium izin tambang lanjutan guna mengevaluasi secara faktual izin usaha pertambangan (IUP), yang berstatus perusahaan modal dalam negeri (PMDN)/perusahaan modal asing (PMA) maupun IUP kontrak karya di wilayah Provinsi Aceh. Salah satu advokasi yang berhasil adalah kasus Mifa Bersaudara, yang pada akhirnya perusahaan membayar ganti rugi kepada masyarakat terdampak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap.

Dalam anjangsana ke kantor HaKA, tim Auriga Nusantara disambut langsung oleh peneliti HaKA, yakni Badrul, Irham, Fahmi, dan beberapa yang lain. Di samping mendiskusikan kondisi terakhir advokasi kasus Kallista Alam di Rawa Tripa, tim Auriga Nusantara mempresentasikan hasil-hasil kerja yang telah dilakukan oleh Tim Penegakan SDA-LH Auriga Nusantara.

Dalam paparannya, tim menyebutkan bahwa program advokasi penegakan hukum SDA-LH tidak bisa dilakukan sendiri tanpa berkolaborasi dengan CSO di tingkat lokal. HaKA menyambut baik kolaborasi ini dan menyebutkan bahwa pemenuhan dan kompilasi data adalah tantangan bersama yang harus diselesaikan.

Selain berdiskusi mengenai kondisi penegakan hukum SDA-LH terbaru di Aceh, dalam pertemuan-pertemuan dengan CSO lokal di Aceh, tim Auriga Nusantara juga membangun kolaborasi positif dengan saling bertukar pandang mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan CSO lokal. Melalui kolaborasi ini, tim menghimpun isu sebagai bahan advokasi kebijakan di level pusat dan daerah.

Ke depannya, pasca-kegiatan ini, diharapkan kolaborasi antar-CSO dalam mengawal kebijakan dan penegakan hukum kasus-kasus SDA-LH dapat dilakukan secara optimal.



Dialog dengan Peneliti HaKA Aceh.


Kunjungan Tim Auriga ke Kantor HaKA Aceh.


Kunjungan Tim Auriga ke Kantor MaTA Aceh.