Sebuah Kerja Sama untuk Peningkatan Kapasitas SDM Kejaksaan

Yayasan Auriga menandatangani kerja sama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI. Demi meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di Kejaksaan.


Sumber daya alam indonesia melimpah tapi pemanfaatannya supaya bisa memberikan maslahat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, seperti diamanatkan konstitusi, belum berlaku. Ada banyak penyebabnya, termasuk di antaranya penegakan hukum yang masih lemah.

Sebagai bagian dari upaya mengatasi persoalan penegakan hukum itulah Yayasan Auriga menandatangani Perjanjian Kerja Sama/Memorandum of Understanding dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan Republik Indonesia tentang Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia Kejaksaan RI melalui Pendidikan dan Pelatihan. Penandatanganan berlangsung pada 11 April 2022 di Gedung Wicaksana Kompleks Badiklat Kejaksaan RI di Ragunan, Jakarta Selatan.

Yayasan Auriga saat ini sedang melaksanakan program Peningkatan Kapasitas dan Kolaborasi Penegakan Hukum di Sektor Sumber Daya Alam, yang pembiayaannya didukung pemerintah Norwegia. Kejaksaan merupakan salah satu penerima manfaat penting program ini. Sebab Kejaksaan memiliki peran dan fungsi strategi sebagai dominus litis dalam penegakan hukum di sektor sumber daya alam dan lingkungan.

Kerja sama Auriga dengan Kejaksaan adalah dasar untuk melaksanakan peningkatan kompetensi pendidikan dan pelatihan bagi jaksa perihal isu-isu sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kerja sama ini meliputi pemberian bantuan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pengembangan kualitas pendidikan dan latihan, penggunaan sarana dan prasarana pendidikan dan latihan, serta bentuk lain yang diperlukan.

Berbagai bentuk kegiatan dalam kerja sama tersebut akan menjadi upaya peningkatan kapasitas jaksa. Hal ini terentang mulai dari pembuatan kurikulum, modul, dan media pembelajaran hingga kegiatan pendidikan dan pelatihan dasar sampai pedoman teknis tentang berbagai isu penegakan hukum di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Mengenai sumber daya alam, selama ini Amanat Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas: harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksud bukan saja mereka yang hidup saat ini, melainkan juga generasi yang akan datang, sebagaimana diamanatkan pula oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam kenyataannya, hasil dari pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga saat ini menjadi salah satu pendukung ekonomi nasional. Pada 2017, misalnya, sektor ini berkontribusi 10,89 persen atau Rp 1.498 triliun dari Rp 13.589 triliun total Produk Domestik Bruto (PDB). Data Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun yang sama sektor sumber daya alam menyerap 37,31 juta pekerja. Meski demikian, pajak yang disetor dari sektor ini kecil, hanya Rp 99,91 triliun atau 3,87 persen dari total penerimaan (KPK, 2018).

Masalahnya adalah pemasukan negara dari sektor sumber daya alam ternyata tidak sebanding dengan kerusakan dan dampak eksploitasinya yang sejauh ini telah dilakukan. Kebakaran hutan dan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, banjir bandang, tanah longsong, turunnya permukaan air tanah, kualitas air dan udara yang jauh menurun, kesehatan masyarakat yang memburuk adalah dampak kerusakan lingkungan hidup yang saat ini dihadapi dan dialami hampir oleh seluruh warga Indonesia.

Kerusakan itu bahkan mengancam kelangsungan kehidupan di bumi. Hal ini berpengaruh terhadap salah satu komitmen Indonesia dalam mencapai tujuan global, yakni tata kelola sumber daya alam harus dilakukan dengan efisien dan berkelanjutan.

Rendahnya penerimaan negara dari sektor sumber daya alam hingga kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber-sumber itu memerlukan tindakan penegakan hukum yang kuat. Dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan nasional peran penting penegakan hukum ini sudah ditegaskan untuk melindungi kualitas lingkungan hidup dan mengurangi, bahkan menghentikan, laju kerusakannya akibat berbagai tindakan kejahatan yang kian masif dan terorganisasikan. Tanpa peran itu kualitas lingkungan bisa terancam dan hasil pembangunan nasional bisa terkena dampaknya. Masalahnya, dalam praktik, penegakan hukum di sektor sumber daya alam masih lemah.

Dalam kerja sama dengan Kejaksaan, demi menguatkan kapasitas penegak hukum sehubungan dengan persoalan tersebut, saat ini Auriga sedang menyusun modul pembelajaran pendidikan dan pelatihan di empat isu besar sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup. Modul pertama sebagai pengetahuan dasar mengenai “Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia”, kemudian modul “Penuntutan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup” (Modul Korporasi) dan modul “Penerapan Pidana Tambahan Pemulihan” (Modul Pemulihan). Modul keempat adalah “Penelusuran Aset dan Pemulihan Aset (Asset Recovery) bagi Jaksa dalam Penanganan Perkara Sumber Daya Alam”, yang menjadi modul penting perihal pemulihan aset hasil tindak pidana kejahatan di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Berkaitan dengan Modul Korporasi dan Modul Pemulihan, rencananya akan dilakukan pendidikan dan pelatihan dalam satu rangkaian kegiatan karena terkait dengan subyek korporasi.

Perjanjian kerja sama Auriga dan Kejaksaan itu menjadi awal untuk kerja sama tiga tahun ke depan. Timer Manurung selaku Ketua Yayasan Auriga menyambut hal ini sebagai kerja belum selesai, karena perjalanan panjang selalu dimulai dengan menjejak langkah pertama.