Penegakan Hukum untuk Pelaku Pembakaran Hutan di Riau

Masih banyak persoalan dalam penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Riau. Diskusi ini menguak penyebab dan cara penanggulangannya.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau merupakan salah satu persoalan yang berlarut-larut dan tidak kunjung usai. Hingga kini kejadian karhutla masih terjadi, baik dalam skala kecil, skala besar, hingga bencana yang menakutkan, meski frekuensinya telah menurun cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir.

Secara umum, memang dalam kurun tiga tahun terakhir angka kebakaran hutan berkurang, dari 90.550 ha pada 2019 menjadi 15.442 ha pada 2020 dan 8.303 ha pada 2021. Tren ini berbanding lurus dengan angka kebakaran hutan dalam skala nasional, yang mengalami penurunan berarti mulai 2020. Meski demikian, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau masih menjumpai beberapa persoalan.

Karena permasalahan itulah Auriga Nusantara bekerja sama dengan Jikalahari Riau mengadakan webinar dengan tema “Refleksi dan Proyeksi Penegakan Hukum Pelaku Pembakaran Hutan di Riau”. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfajri, Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Riau; Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau; dan Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari Riau. Harapannya, webinar ini dapat memberikan pencerahan kepada publik mengenai tantangan dan kendala penegakan hukum terhadap pelaku karhutla demi menurunkan angka kebakaran hutan di Riau.

Terkait statistik jumlah karhutla, Alfajri mengungkapkan bahwa menurunnya karhutla di Riau tidak terlepas dari fenomena La Nina yang terjadi sepanjang 2020-2021. Kondisi inilah yang membuat cuaca di wilayah Sumatera, khususnya Riau, menjadi cukup basah, yang juga mengakibatkan curah hujan tinggi sehingga membantu meredam karhutla. Wakil Koordinator Jikalahari Riau, Okto Yugo, sependapat. Menurut dia, turunnya angka karhutla tidak serta-merta karena manajemen karhutla yang bagus, namun juga kondisi La Nina yang mendukung.

Alfajri menambahkan saat ini masih terdapat 1,2 juta hektare kebun ilegal yang tersebar di seluruh wilayah Riau. Persoalan ini merupakan salah satu dari banyaknya pekerjaan rumah di sektor hulu, seperti persoalan mengenai aspek penegakan hukum, aspek ekonomi politik, aspek tata kelola hutan dan lahan berkelanjutan, dan aspek konflik lahan dan reformasi agraria. Saat ini dibutuhkan pula suatu one map policy perihal penyebaran kasus karhutla. Peta ini penting untuk memastikan transparansi kepada publik perihal manajemen konflik hutan dan lahan.

Menurut Alfajri, terdapat beberapa kendala dalam penegakan hukum karhutla, antara lain dominasi kepentingan oligarki dan rumitnya politik patron. Adanya kedua persoalan ini akan menyulitkan komitmen penegakan hukum yang ideal, dan menyebabkan tata kelola yang buruk (poor governance).

Permasalahan oligarki dapat diatasi dengan mewujudkan sistem pemilihan yang baik dan menghapus politik uang yang menjadi akar persoalan oligarki politik. Hal ini juga selaras dengan persoalan politik patron, yang menyebabkan banyak kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan pemerintah pusat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Berbqgai permasalahan ini dapat diselesaikan dengan modal integritas penegak hukum yang baik dan berjalannya good governance, di tingkat daerah maupun pusat (semua level).

Sementara, menurut Boy Sembiring, terdapat ruang yang luas dalam penegakan hukum, yaitu masalah legal system (sistem hukum) yang terdiri atas substansi, struktur, dan budaya hukum; serta penegakan hukum (law enforcement), yang terdiri atas formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Hingga saat ini, secara umum, penegakan hukum pidana oleh Gakkum KLHK didominasi subyek tindak pidana orang per orang. Dalam kurun waktu 2015-2019, sekitar 258 sanksi administratif dijatuhkan kepada korporasi. Mayoritas dari sanksi-sanksi itu berupa paksaan pemerintah berbentuk teguran tertulis. Namun, di sisi lain, masih banyak kelemahan dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan, seperti kelemahan dalam norma yang membuat hakim tidak memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pidana tambahan perbaikan.

Pada akhirnya Riau sebagai wilayah yang paling rentan dan paling sering mengalami kebakaran hutan membutuhkan aparat penegak hukum yang tegas dan politik hukum yang jelas dalam menyelesaikan persoalan. Penegakan hukum masih menjadi tantangan dan kendala yang serius. Aparat penegak hukum yang eksis sekarang sebenarnya memiliki kemampuan, tapi tidak menjalankan tugasnya dengan serius, terbukti dengan masih adanya tebang pilih dalam penindakan di lapangan.

Okto Yudo, Koordinator Jikalahari Riau, sependapat dengan poin itu. Dia mengungkapkan penegak hukum terkadang masih bermain mata dengan pelaku karhutla. Perusahaan HTI maupun sawit, yang merupakan korporasi-korporasi dengan jaringan yang luas, belum tersentuh penegakan hukum yang dapat meliputi persoalan yang lebih luas. Maka, penting pula untuk membangun kesadaran hukum masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan karhutla, khususnya di Riau.