Penguatan Penegakan Hukum atas Kejahatan SDA di Papua Barat

Potensi sumber daya alam yang besar di Papua Barat sejalan dengan potensi kejahatannya. Penguatan penegakan hukum perlu agar kekayaan itu bermanfaat nyata.


Papua Barat merupakan provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah, di darat maupun laut. Semua kekayaan alam ini seharusnya mampu memberikan banyak manfaat, mulai dari penyerapan tenaga kerja lokal hingga memberikan sumbangan pemasukan bagi daerah dan devisa untuk negara. Namun, pada praktiknya, potensi yang besar ini ternyata sejalan dengan potensi kejahatan pengelolaan yang timbul, terutama terkait dengan perizinan dan penindakan.

Melihat persoalan tersebut, Auriga Nusantara bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengunjungi Manokwari, Provinsi Papua Barat, pada 29 Maret hingga 1 April 2022 untuk melaksanakan beberapa kegiatan yang bersangkut paut dengan penguatan penegakan hukum atas kejahatan sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH). Kegiatan yang dilaksanakan terdiri atas kunjungan ke beberapa instansi provinsi di bidang SDA-LH, diskusi dengan organisasi masyarakat sipil (CSO) serta media lokal, dan diskusi dengan ahli-ahli SDA lokal.

Kunjungan ke instansi provinsi dilakukan ke beberapa dinas, seperti Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Perkebunan, Badan Pengelola Konservasi Hutan, Dinas Kehutanan, dan Kejaksaan Tinggi Papua Barat. Secara umum, instansi di tingkat provinsi mengeluhkan kewenangan mereka yang mulai terbatas. Hal ini disampaikan langsung oleh instansi-instansi terkait kepada Tim Peneliti.

Banyaknya urusan yang ditarik ke pusat oleh regulasi terbaru telah membatasi kewenangan instansi-instansi tersebut untuk melakukan pengawasan dan penindakan. Padahal kewenangan ini sangat dibutuhkan melihat makin maraknya pembukaan lahan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung, penjualan kayu ilegal, hingga pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing di area perairan Papua Barat.

Persoalan lain yang muncul adalah keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran di tiap-tiap instansi. Bagi instansi yang memiliki kewenangan penindakan, hal ini tentu saja menjadi masalah serius mengingat sangat luasnya wilayah Papua Barat. Luas kawasan hutan di Papua Barat saat ini tercatat 8,7 juta hektar. Dengan area seluas itu, Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat hanya memiliki 98 personel Polisi Hutan (Polhut). Dengan kata lain, dapat diibaratkan satu personel Polhut harus menjaga lebih dari 90.000 hektare hutan. Angka ini merupakan angka yang tidak proporsional dibanding perambahan hutan yang tiap tahunnya terus terjadi.

Selain persoalan lapangan, Tim Peneliti juga menemukan masalah minimnya ahli SDA-LH di Papua Barat. Hal ini disampaikan langsung oleh Kejaksaan Tinggi Papua Barat, yang memaparkan bahwa dalam proses beracara, Kejaksaan selama ini menggunakan ahli-ahli dari perguruan tinggi di Yogyakarta. Hal ini menjadi problem mengingat di Manokwari sebenarnya terdapat perguruan tinggi yang juga memiliki jurusan terkait dengan tata kelola SDA seperti kehutanan, perikanan, dan perkebunan.

Dalam dua tahun ini, persoalan database ahli merupakan salah satu prioritas Tim Peneliti Auriga untuk mendorong penegakan hukum kejahatan SDA di daerah ke arah yang positif. Dengan berkembangnya ahli-ahli SDA di tingkat lokal, diharapkan juga dapat mendorong tata kelola SDA yang lebih baik pada level tapak.

Sebagai tindak lanjut dari persoalan tersebut, Tim Peneliti Auriga mengadakan diskusi dengan beberapa akademisi dari Universitas Papua dan STIH Manokwari. Diskusi ini dilakukan untuk mendapatkan pandangan mereka perihal beberapa persoalan SDA-LH di Papua Barat. Tim juga mendata akademisi dari berbagai disiplin ilmu yang terkait langsung dengan tata kelola SDA, seperti akademisi dari fakultas hukum, fakultas kehutanan, dan fakultas pertanian. Di samping melihat latar belakang keilmuan, Tim juga melihat track record, secara akademis maupun keberpihakannya dalam tata kelola SDA.

Selain bertemu dengan eksekutif provinsi dan akademisi, Tim Peneliti juga berdiskusi dengan CSO dan awak media lokal terkait dengan perkembangan kasus-kasus kejahatan SDA di Papua Barat. Beberapa isu seperti kasus pertambangan liar, baik tambang galian C dan tambang emas; tindak lanjut pencabutan izin sawit; hingga pencurian ikan di laut menjadi bahan kajian dan advokasi lebih lanjut bagi Tim Peneliti.

Masalah mendesak lainnya adalah hak kelola hutan oleh masyarakat adat yang masih rancu. Kendati secara formal memiliki wewenang untuk mengelola SDA melalui skema hak ulayat, perubahan regulasi di tingkat nasional menyebabkan terbatasnya wewenang pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk mengelola wilayah hutan secara langsung. Selain itu, regulasi daerah di tingkat provinsi belum memberikan kerangka hukum yang jelas untuk menjamin pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Alhasil, tanah yang telah dicabut perizinan sawitnya, misalnya, belum tentu dapat langsung dikembalikan dan digunakan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat adat.

Pada akhirnya, kunjungan ke Papua Barat ini diharapkan dapat menjadi andil untuk tata kelola SDA yang lebih baik, khususnya dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan SDA. Hal ini penting demi menjaga potensi sumber daya alam yang melimpah, baik yang terdapat di darat maupun laut, agar dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat.