Mendiskusikan Tantangan dan Peluang Restorasi Gambut

Karena fungsi-fungsinya, menjaga kelestarian ekosistem gambut jadi hal penting. Tantangan & peluang merestorasinya didiskusikan terbuka di Kalimantan Barat


Ekosistem gambut di Kalimantan Barat tersebar di 124 Kesatuan Hidrologis Gambut yang berlokasi di 12 kabupaten/kota dengan luas 2,8 juta hektare. Hal ini menempatkan Kalimantan Barat di urutan keempat sebagai provinsi dengan gambut terluas di Indonesia, setelah Papua, Riau, dan Kalimantan Tengah.

Mengingat fungsi gambut yang mampu menampung karbon, mencegah perubahan iklim dan bencana alam, hingga menjadi penunjang perekonomian masyarakat sekitar, kelestarian ekosistem gambut merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Melihat hal ini, Auriga Nusantara sebagai implementing agency pada program Peningkatan Kapasitas dan Kolaborasi Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam bersama Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK menggelar diskusi publik secara hybrid. Diskusi ini mengangkat tantangan dan peluang dalam kebijakan restorasi gambut di Kalimantan Barat.

Diskusi dilaksanakan pada Kamis, 28 Juli 2022 di Hotel Golden Tulip, Pontianak, Kalimantan Barat. Melalui diskusi publik ini, diharapkan dapat dilihat bagaimana kebijakan restorasi gambut sejauh ini dijalankan, bagaimana tantangan ke depan, bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran gambut, valuasi ekonomi, serta peluang yang dihadapi oleh pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lain.

Hadir langsung sebagai narasumber adalah Jany Tri Rahardjo, Kepala Kelompok Kerja Restorasi Gambut Wilayah Kalimantan dan Papua; Sri Haryanti, Kepala Divisi Hukum Lembaga Gemawan; dan Rossie Wiedya, Ketua Jurusan Ilmu Tanah Universitas Tanjungpura. Selain para narasumber, hadir pula jurnalis dari berbagai media nasional dan lokal di Kalimantan Barat serta perwakilan organisasi masyarakat sipil (CSO) lokal seperti Siar Kalimantan Barat dan Kelompok Jari Kalimantan Barat.

Dalam paparannya, Jany Tri Rahardjo menyampaikan secara umum gambut yang rusak adalah gambut yang terbakar, gambut yang berkanal, tinggi muka airnya turun, dan tutupannya yang terbuka. Dari kondisi ini Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memiliki tugas melakukan restorasi sesuai amanah Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2016, meski tidak di semua wilayah karena keterbatasan anggaran. Namun, menurut dia, kewenangan BRGM tidak sebesar yang dibayangkan publik. Misalnya dalam hal kebakaran gambut, BRGM hanya berwenang melakukan pembasahan gambut. Ketika terjadi kebakaran, kewenangan menjadi ranah Badan Penanggulang Bencana Daerah.

Selain aspek teknis, Jany memaparkan bahwa restorasi juga harus dilakukan dengan pendekatan sosial-ekonomi, seperti membangun pembiasaan di masyarakat yang menunjang kelestarian gambut.

Sehubungan dengan restorasi gambut, Rossie Wiedya mengemukakan tantangannya adalah konversi lahan/alih fungsi lahan, pembakaran, dan drainase. Untuk hal-hal yang menyangkut penegakan hukum, dia mengatakan pelaku pembakaran lahan gambut bisa perusahaan dan perorangan. Kebakaran gambut, menurut dia, berkarakteristik unik, yang pemadamannya sulit karena api dapat menjalar hingga ke bagian bawah tumbuhan yang sulit dijangkau petugas pemadam.

Selain itu, dia menambahkan adanya restorasi gambut tidak serta-merta meniadakan sepenuhnya kebakaran gambut karena pada musim kering lahan gambut sangat rentan terbakar. Terkait valuasi aset dalam penegakan hukum, dia berpendapat angka ganti rugi dan/atau denda di pengadilan jauh lebih rendah dari kebutuhan biaya dalam upaya restorasi.

Sri Haryanti dalam paparannya mengemukakan peran lembaga masyarakat sipil dalam melakukan pemberdayaan masyarakat di kawasan gambut melalui kelembagaan desa. Menurut dia, sebagai CSO, Gemawan turut menjadi bagian dalam upaya menjaga gambut melalui beberapa kegiatan, seperti memberikan edukasi dan fasilitas kepada masyarakat di desa bekerja sama dengan BRGM. Dalam melaksanakan program di lapangan, katanya, stakeholder harus mendengarkan aspirasi masyarakat terdampak dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti kesetaraan gender dan tata kelola pemerintah di tingkat desa.

Para narasumber bersepakat bahwa pemulihan gambut membutuhkan waktu lama seperti halnya terbentuknya lahan gambut itu sendiri. Upaya restorasi gambut di lapangan harus dilakukan dengan kerja sama semua elemen, terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan area gambut itu. Upaya preventif pun harus dilakukan untuk menjaga gambut yang ada saat ini, karena pemulihan terhadap gambut yang rusak membutuhkan biaya yang besar.

Diskusi Publik tentang Tantangan Restorasi Gambut di Kalimantan Barat