Pertanggungjawaban Korporasi SDA di Kalimantan Selatan

Selain state capture oleh regulasi dan kebijakan, kedekatan elit pemerintah dengan pengusaha menjadi hambatan bagi penegakan hukum di Kalimantan Selatan.

Dengan tatakelola seperti yang berlangsung saat ini, terutama kedekatan korporasi tambang dengan kepemimpinan setempat, kekayaan sumberdaya alam Kalimantan Selatan rawan menjadi habitus yang koruptif. Tidak hanya perlu pengaturan jelas dan tegas di sisi pemerintah dan sumberdaya alam itu sendiri, hal sama juga diperlukan bagi (penegakan hukum terhadap) korporasi. Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, karena menyediakan mekanisme dalam peradilan atas perkara-perkara yang melibatkan korporasi. 

Namun begitu, jalan panjang penegakan hukum terhadap korporasi masih terbentang, terutama oleh belum banyaknya putusan-putusan peradilan yang sedemikian strategis, seperti mendatangkan efek jera, memulihkan lingkungan yang telah terlanjur rusak (oleh pelanggaran hukum). Bahkan, eksekusi terhadap putusan-putusan progresif pun masih banyak yang terkendala.

Salah satu kendala yang dihadapi selama ini, menurut Yunus Husein, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, adalah kedekatan pengusaha sumber daya alam dengan elit pemerintah dan aparat penegak hukum. Selain itu, terdapat juga celah-celah yang dibangun atau terbangun oleh regulasi, seperti kurang dijaminnya transparansi, pengawasan yang lemah, dan jarangnya audit lingkungan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang sumberdaya alam.

Prof. Abdul Halim Barkatullah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, melihat adanya kompleksitas implementasi teknis teknis di lapangan, termasuk oleh tidak seragamnya pemahaman aparat penegak hukum. Ketidakseragaman ini, misanya, mengenai konsep korporasi, delik penuntutannya, siapa yang bertanggung jawab terhadap korporasi.

Ahmad Fikri Hadin, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Lambung Mangkurat, menyoroti adanya perbedaan spirit antara hukum lingkungan dengan hukum sumber daya alam. Hukum lingkungan tampak lebih bertujuan menjaga kelestarian alam, sedangkan hukum sumber daya alam cenderung mengeksploitasi alam. Selain mengaminkan kecenderungan ini, Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Selatan, lebih jauh menunjukkan berbagai contoh dan data lapangan yang berkontribusi menghadirkan bencana ekologis, sosial, dan ekonomi di Kalimantan Selatan.

Poin-poin di atas mengemuka dalam webinar bertajuk Pertanggungjawaban Korporasi Sumber Daya Alam di Kalimantan Selatan yang diselenggarakan Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Auriga Nusantara pada Kamis, 25 Juni 2020.


Narasumber dan presentasi