KPK Pimpin Koordinasi Gakkum Sumber Daya Alam di Sorong

KPK kembali melakukan rapat koordinasi di Sorong–untuk memastikan perkembangan tindak lanjut dari sejumlah rekomendasi pada pertemuan sebelumnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyelenggarakan serangkaian kegiatan di Kota Sorong, Papua Barat, untuk mendorong kolaborasi penegakan hukum sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup. Salah satu agendanya adalah rapat koordinasi penegakan hukum (gakkum) terhadap pelaku usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan pada Senin, 18 Juli 2022.



Rapat itu melibatkan pemerintah Provinsi Papua Barat, pemerintah Kota Sorong, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di sejumlah kementerian/lembaga (K/L) terkait, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berlangsung di Swiss-Belhotel, Sorong, rapat dipimpin langsung oleh Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria.

Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari kunjungan awal pada Juni 2021. Kala itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sempat memberikan sanksi administrasi kepada beberapa perusahaan atas pelanggaran di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Ada perusahaan yang telah melaksanakan sanksi-sanksi ini, tapi masih banyak yang belum menindaklanjutinya. Rapat koordinasi kali ini hendak memastikan perkembangan tindak lanjut dari sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan sebelumnya.

Selain itu, pertemuan juga dimaksudkan untuk memvalidasi data dan informasi berkenaan dengan dugaan pelanggaran lain yang dilakukan perusahaan, seperti pelanggaran tata ruang, kehutanan, pertambangan, dan pesisir.

Kasatgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, dalam penjelasannya menyampaikan pertemuan lintas sektor ini penting untuk segera merumuskan sanksi yang memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi peraturan. Secara khusus hal ini menyangkut kegiatan pertambangan dengan izin yang sudah habis masa berlakunya namun tetap beroperasi, serta terkait dengan kewajiban perpajakannya.

Pemerintah kota Sorong yang diwakili Plh. Sekda Kota Sorong, Karel Gefilem, menyampaikan bahwa penambangan mineral bukan logam dan batuan (galian golongan C) di Sorong mengakibatkan pencemaran pasir dan air laut, serta perusakan kawasan hutan. Pemerintah kota Sorong telah memberikan teguran langsung, yang ditindaklanjuti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta sanksi administratif.

Menurut Karel, pemerintah kota Sorong mendorong dilakukannya penegakan hukum untuk memberikan efek jera bagi pelaku perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Sorong. Ia juga mengimbau pemerintah yang membuat peraturan tidak sampai lemah dalam melakukan pengawasan. Karenanya, penyelesaian harus segera dilakukan agar tidak berlarut-larut.

Dalam pertemuan ditemukan bahwa beberapa perusahaan yang seharusnya sudah melaksanakan sanksi yang dikenakan justru masih beroperasi. Misalnya terdapat satu perusahaan yang sebenarnya telah mendapatkan perintah dari pemerintah kota dan Kementerian ATR/BPN untuk menghentikan operasi pada 2019–dengan dipasang plang larangan di area operasi–namun perintah itu diabaikan dan perusahaan tetap melakukan kegiatan. Salah satu perusahaan justru mendapatkan izin baru yang areanya makin luas, merambah wilayah hutan produksi yang seharusnya bukan area yang diperuntukkan bagi usaha. Tindakan ini melanggar Pasal 23 ayat (3) Perda RTRW Kota Sorong, yang menjelaskan bahwa wilayah itu seharusnya merupakan area sempadan pantai dan hutan produksi.

Dr Hendri, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua, menambahkan bahwa area tersebut juga merupakan area rawan bencana tsunami. Pembiaran terhadap operasi usaha di dalamnya akan merugikan semua pihak, utamanya masyarakat Kota Sorong.

Di akhir rapat, peserta yang terdiri atas beberapa elemen pemerintah, pusat maupun daerah, menyepakati beberapa poin. Di antara poin-poin itu adalah, pertama, Kementerian ATR/BPN dan pemerintah kota Sorong menindaklanjuti masalah pelanggaran penyerobotan tanah dan pelanggaran atas fungsi kawasan hutan; kedua, Bappeda Sorong menertibkan perusahaan terkait, termasuk kewajiban perpajakan perusahaannya; ketiga, koordinasi antar-organisasi perangkat daerah pemerintah kota (horisontal) dan dengan provinsi serta pusat (vertikal) tentang kelengkapan formil perizinan dan hasil pengawasan, baik dokumen dan lapangan; keempat, pemerintah kota dan dinas terkait memperhatikan manajemen dan konservasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam pesisir dengan menertibkan pelanggaran di kawasan rentan bencana.

Bagi KPK, penertiban galian C di Sorong merupakan bagian penting dari upayanya untuk menyelamatkan potensi ekonomi dari kekayaan alam Indonesia. Hal ini penting sebab jika pelanggaran-pelanggaran dalam proses bisnis pengelolaan sumber daya alam dibiarkan, selain merusak alam, akan merugikan negara dalam angka yang besar. “Bisa jadi di balik tindak pidana pertambangan ilegal ini terjadi tindak pidana korupsi, fraud, dan misconduct. Dan ini yang menjadi perhatian KPK di Papua Barat,” kata Dian.