Litigasi Iklim Naik pada 2021, dan Swasta kian Terekspos

Oleh Isabella Kaminski, wartawan lepas bidang lingkungan

China Dialogue, 21 Desember 2021

Kenaikan aksi legal secara global mengenai perubahan iklim memperlihatkan tidak ada tanda-tanda bakal melambat lajunya tahun ini, dengan lebih dari 1.800 kasus rampung atau dalam proses, naik dari 1.500 tahun lalu.

Sementara bagian paling besar berada di Amerika Serikat, gugatan juga meningkat di wilayah hukum yang lain, dari Guyana hingga Afrika Selatan. Fokusnya mula meluas dari pemerintah ke pelibatan sektor swasta, dan telah ada keberhasilan yang menonjol tahun ini. Hal ini bisa menjadi alat yang kuat untuk mendesakkan aksi iklim yang ambisius, meski jalan masih panjang untuk meminta pertanggungjawaban negara dan perusahaan karena emisi yang mereka hasilkan.


Negara-negara Eropa Ada di Dok
Eropa merupakan titik panas bagi keberhasilan litigasi tahun ini. Pada April, Mahkamah Konstitusi Jerman, memutuskan upaya pemerintah dalam memangkas emisi tidak cukup tegas untuk melindungi generasi masa depan, karenanya melanggar hak fundamental dari rakyat mudanya. Sebagai respons, Kanselir Jerman Angela Merkel mendorong versi baru dari undang-undang iklim nasional, memajukan target nol emisi menjadi lima tahun, pada 2045.

Pemerintah Prancis dua kali diperintahkan agar menghormati komitmen iklimnya. Sebuah penetapan sementara yang belum pernah ada dari Pengadilan Tata Usaha Negara pada Juli mengatakan pemerintah harus mengambil “semua langkah tambahan esensial” untuk memenuhi target. Perintah lain memberi tenggat 31 Desember 2022 untuk “memperbaiki” emisinya yang kelewat tinggi.

Tidak semua putusan merupakan kemenangan besar-besaran bagi pengkampanye iklim. Sebuah pengadilan di Brussels menyatakan kegagalan Belgia untuk mencapai target iklimnya telah melanggar hak asasi warga negaranya, tapi menolak dalam memberi pemerintah target yang mengikat untuk memangkas emisi, atas alasan hal ini akan melanggar pemisahan kekuasaan antara negara dan pengadilan.

Manakala tindakan-tindakan tersebut berakhir, sejumlah kasus serupa di Eropa timbul tahun ini, khususnya di Italia dan Polandia.

Di Inggris Raya, ada sejumlah upaya untuk mendesakkan aksi iklim melalui pengadilan, memang belum ada yang berhasil. Ini termasuk aksi oleh pengkampanye untuk mencoba memblokade strategi pembangunan jalan raksasa dan perluasan Bandara Heathrow, yang keduanya gagal di pengadilan.

Sebuah gugatan terpisah, yang diajukan tiga anak muda yang mengklaim pemerintah Inggris melanggar hak asasi mereka, masih menunggu apakah bisa melaju ke tahap persidangan.


Amerika Serikat dan Australia di Peringkat Teratas
Meski Amerika Serikat masih menjadi tempat gugatan terbanyak—lebih dari 1.300 menurut perhitungan mutakhir—sebagian besar macet karena rintangan prosedural. Penggugat dalam kasus nasional yang terkemuka, Julana vs. Amerika Serikat, yang di dalamnya 21 anak muda berpendapat bahwa berdiam dirinya pemerintah dalam isu iklim melanggar hak konstitusional mereka, berupaya dan gagal mencapai penyelesaian dengan Departemen Kehakiman tahun ini. Mereka berharap bakal kembali ke pengadilan tahun depan untuk melanjutkan argumentasi tentang hak mereka agar kasusnya menjadi penuh.

Namun, di Australia, tempat dengan jumlah kasus terbanyak kedua, sejumlah putusan penting sudah bisa dilihat. Dalam kasus yang diajukan para penyintas kebakaran lahan, sebuah pengadilan di New South Wales memerintahkan pihak badan perlindungan lingkungan negara untuk “mengembangkan tujuan, panduan, dan kebijakan mengenai kualitas lingkungan demi memastikan perlindungan lingkungan dari perubahan iklim”.

Tahun depan tampaknya bakal melihat hasil dari kasus besar yang diajukan aktivis pelajar Anjali Sharma dan tujuh remaja lain terhadap perluasan tambang batu bara di New South Wales. Tahun ini, sementara itu, pengadilan federal mendapati bahwa Menteri Lingkungan Hidup Sussan Ley memiliki “tugas kepedulian” untuk melindungi anak-anak Australia dari cedera pribadi atau kematian akibat krisis iklim. Ini merupakan putusan yang menjadi tonggak, meski pemerintah mengajukan banding.

Di timur Australia di Pasifik Selatan, Vanuatu, sebuah pulau mungil, tahun ini membuat sejarah melalui upaya memperoleh saran pendapat dari Mahkamah Internasional tentang isu perubahan iklim dan hak asasi.


Hak Asasi dalam Fokus
Dengan semakin banyaknya kasus litigasi menyebut pelanggaran hak asasi—dan hakim membuat kaitannya secara terang-terangan—sebuah jalan legal baru telah membuka diri bagi para pengkampanye. Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia, yang bertanggung jawab dalam menafsirkan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, menerima kasus-kasus dari dua kelompok berbeda dan telah memberi prioritas kepada mereka.

Yang pertama melibatkan aktivis muda dari Portugal yang menghendaki pengadilan memerintahkan 33 negara Eropa mengadopsi pemangkasan emisi secara kolektif sesuai dengan target pemanasan 1,5 derajat Celcisus menurut Perjanjian Paris. Kelompok kedua adalah para perempuan sepuh yang mengugat pemerintah Swiss karena merasa kesehatan mereka berada dalam risiko akibat gelombang panas yang diperburuk perubahan iklim.

Pengadilan Eropa masih memutuskan apakah akan menerima kasus ketiga, yang diajukan dua NGO lingkungan terhadap pemerintah Norwegia. Kedua grup ini telah berupaya melakukan aksi melalui pengadilan domestik, menggugat persetujuan Norwegia mengenai lisensi baru untuk pengeboran lepas pantai di Arktik, tapi tahun ini pengadilan tertinggi di sana menolak argumentasi mereka.

Namun upaya para pengkampanye untuk membawa gugatan, yang dijuluki Kasus Iklim Rakyat, ke Mahkamah Uni Eropa pada Maret lalu gagal atas dasar penggugat tidak mempunyai hak untuk menentang undang-undang Uni Eropa.

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Anak juga tidak setuju dengan petisi yang diajukan anak-anak dari seluruh dunia, yang menuduh Argentina, Brasil, Prancis, Jerman, dan Turki melanggar Konvensi Hak Anak karena tidak bertindak cukup tegas untuk perubahan iklim. Kelompok ini, dipimpin Greta Thunberg, sejak itu telah mengajukan petisi legal kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mendesaknya agar mendeklarasikan sebuah “sistem emergensi iklim yang luas”.


Litigasi Meningkat di Belahan Selatan
Sementara mayoritas kasus terus berlangsung di belahan utara, litigasi iklim juga sedang tumbuh di belahan selatan.

Tahun ini bisa dilihat kasus iklim yang bersifat konstitusional di Karibia, menantang produksi bahan bakar fosil atas dasar iklim dan hak asasi menusia. Dua warga negara menggugat pemerintah Guyana, berupaya mengakhiri proyek pengeboran raksasa lepas pantai yang dijalankan ExxonMobil dan perusahaan minyak besar lain.

Di tempat lain, sekelompok penduduk asli Amazon membawa cabang lokal dari perusahaan minyak terbesar Cina ke pengadilan, menjadi kasus litigasi iklim terbesar pertama di Ekuador. Hakim memutuskan mengalahkan mereka.

Di Afrika Selatan, sebuah rencana nasional untuk membangun pembangkit listrik bertenaga batu bara sedang digugat di pengadilan karena melanggar hak generasi saat ini dan masa datang.


Sektor Swasta Masuk Medan Panas
Sejauh ini, kebanyakan kasus adalah gugatan terhadap pemerintah. Tapi 2021 merupakan tahun ketika perhatian diperluas meliputi sektor swasta, kata Joana Setzer, asisten profesor di London School of Economics yang berspesialisasi di bidang litigasi iklim.

Pada Mei, Shell menjadi perusahaan pertama dalam sejarah yang ditetapkan bertanggung jawab karena berkontribusi terhadap perubahan iklim, manakala pengadilan di Belanda memerintahkan kepadanya agar memangkas emisi globalnya sebesar 45 persen pada 2030, dan memutus bahwa ia bertanggung jawab pula atas emisi konsumennya. Shell mengajukan banding, tapi pengadilan memastikan agar ia segera bertindak sebagaimana diminta dalam putusan itu. Lalu, pada November, Shell secara mengejutkan membuat pengumuman bahwa ia memindahkan kantor pusatnya ke Inggris, meski menyatakan bahwa hal ini tidak akan mempengaruhi putusan itu. NGO Belanda, Milieudefensie (Sahabat Bumi Belanda), yang mengajukan kasus tersebut, optimistis mengenai relokasi itu, dengan menyatakan hal itu sesungguhnya “membuka front baru, termasuk kasus di masa datang”.

Berbicara di sebuah forum pada COP26, pengacara Milieudefensie, Roger Cox, mengatakan dia berharap di masa depan ada kasus-kasus yang sukses sebagaimana halnya dengan Shell.

Bulan berikutnya, NGO Jerman, Deutsche Umwelthilfe, mengajukan gugatan terhadap pabrikan mobil BMW dan Daimler karena penolakan mengetatkan sasaran mereka dalam memangkas emisi karbon, sementara kasus serupa diajukan terhadap VW oleh Greenpeace Jerman dan aktivis Friday for Future, Clara Mayer, pada November.

Setzer mengatakan ini pertanda bahwa litigasi sedang mempelbagaikan sasaran dari semula berfokus kepada industri bahan bakar fosil ke sektor-sektor lain, sebuah tren yang diperkirakan akan berlanjut.

Kelompok lain mengambil pendekatan yang berbeda. Pada Agustus, NGO Australia, Environmental Defenders Office, mengajukan gugatan berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen terhadap perusahaan minyak dan gas Santos karena klaim yang keliru bahwa ia memproduksi energi bersih dan memiliki peta jalan menuju nol emisi.

Dengan banyaknya perusahaan berkomitmen kepada nol emisi, Setzer berekspektasi melihat lebih banyak kasus greenwashing—pura-pura terihat peduli lingkungan—dan membuat pernyataan palsu maupun ketaatan perusahaan terhadap ketentuan uji tuntas. “Apa pun komitmen yang dibuat saat ini, selalu ada pertimbangan mengenai ‘Bisakah kita benar-benar mewujudkannya?’ Saya pikir ini merupakan area risiko adanya litigasi jadi sangat efektif dalam menciptakan perubahan perilaku,” katanya kepada China Dialogue.

Pembiayaan industri bahan bakar fosil semakin menjadi perhatian secara legal. Kantor hukum lingkungan ClientEarth sedang mengambil aksi legal terhadap National Bank Belgia karena gagal mematuhi kewajiban perlindungan lingkungan dan hak asasi manakala membeli aset-aset perusahaan, kebanyakan berasal dari perusahaan yang menyebabkan krisis iklim. Di masa depan sangat mungkin bertambah lagi kasus terhadap bank dan lembaga keuangan lain.

Dukungan negara kepada industri tersebut juga semakin diawasi. Dan pada Desember, Pengadilan Tinggi Inggris menyidangkan sebuah kasus yang diajukan tiga pengkampanye iklim terhadap pemerintah dan Badan Minyak dan Gas, menggugat pengeluaran dana publik untuk mendukung industri minyak dan gas. Keputusan diperkirakan dibuat pada awal 2022.

Hal itu bakal menjadi salah satu putusan yang sangat diantisipasi di bidang yang meluas dengan pesat, yang mengerahkan strategi hukum yang kreatif dan beragam terhadap serangkaian terdakwa yang juga beraneka rupa.

Selengkapnya: https://chinadialogue.net/en/climate/climate-litigation-up-in-2021-with-private-sector-now-exposed/