Modus-Modus Penghindaran Pajak Sawit

Oleh Wiko Saputra, pendiri Kuala Institute


Koran Tempo, 6 Juni 2022

Luhut Binsar Panjaitan kembali diberi tugas strategis oleh Presiden Jokowi. Kali ini, Luhut diminta membereskan sengkarut minyak goreng. Meski hal ini bukan kewenangannya sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, untuk kesekian kalinya ia harus melaksanakan perintah presiden.

Di luar persoalan kontroversi penugasan Luhut tersebut, ide dia untuk mengaudit perusahaan sawiit perlu diapresiasi. Bahkan, bila audit yang dimaksud mencakup kewajiban pajak perusahaan sawit, ini tentu sebuah gagasan besar yang harus didukung semua pihak.

Bukan rahasia lagi bahwa kepatuhan pajak perusahaan sawit ini sangat rendah. Hal itu pernah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2016. Dari potensi pajak sebesar Rp 40 triliun per tahun, pemerintah baru mampu merealisasi penerimaannya sebesar Rp 18-20 triliun. Ada potensi sekitar Rp 22-20 triliun yang hilang.

Senada dengan KPK, investigas pajak sawit yang dilakukan oleh majalah Tempo, yang berkolaborasi dengan Mongabay dan Betahita pada 2021, mengungkap hilangnya penerimaan pajak sebesar Rp 30 triliun per tahun. Itu baru dari tiga sumber, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh) badan, dan pajak pertambahan nilai (PPN). Berbagai modus dilakukan oleh perusahaan sawit untuk menghindari dan bahkan menggelapkan kewajiban pajaknya. 
Praktik gelap ini sebenarnya sudah lama terjadi. Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak, sudah mengendusnya. Tapi berbagai kendala teknis dan non teknis sering kali menghambat penyelesaian masalah tersebut.

Salah satu modus yang sering dilakukan perusahaan adalah mengendalikan kegiatan bisnisnya dari negara suaka pajak, seperti British Virgin Islands dan Mauritius. Semua transaksi yang memberikan keuntungan bagi perusahaan ditaruh di sana, sedangkan transaksi yang menimbulkan biaya diklaim ke perusahaan mereka di Indonesia. Akhirnya, perusahaan di Indonesia selalu melaporkan kerugian usaha sehingga mereka tidak membayar pajak.

Modus lain adalah mengelabui transaksi kegiatan ekspor. Caranya, setiap ekspor yang dilakukan oleh perusahaan melibatkan satu entitas usaha (importir) yang terafiliasi ke perusahaan eksportir tersebut. Perusahaan importir ini berdomisili di negara suaka pajak. Misalnya, eksportir dari Medan menjual minyak sawitnya ke India, tapi importirnya bukan dari India melaunkan dari Singapura. Eksportir dan importir ini berada dalam satu grup usaha. Tentu mereka bisa menurunkan harga jauh di bawah harga normal, dan ini sebenarnya hanya transaksi banyangan.

Selain itu, modus lain adalah manipulasi dokumen ekspor. Salah satu bentuknya adalah manipulasi data harmonized system code atau HS. Kode HS ini merupakan sistem kode barang ekspor yang berlaku secara internasional. Setiap barang memiliki kode HS. Di komoditas sawit, ada 26 kode HS. Pemalsuan kode HS dilakukan agar pembayaran pajak bisa lebih kecil karena barang tercatat bukan barang yang sebenarnya. Misalnya, barang yang diekspor adalah produk hasil pemurnian minyak sawit untuk pembuatan minyak goreng (RBD palm olein), tapi dalam dokumen ekspor dilaporkan sebagai minyak sawit mentah (CPO), padahal harga RBD palm olein lebih mahal dibanding CPO.

Parahnya lagi, banyak terjadi ekspor yang tidak tercatat dalam sistem kepabeanan. Praktik ini sering terjadi dilakukan di kawasan berikat yang dikelola perusahaan sawit. Sistem pengawasan yang lemah dan pemberian izin kawasan berikat yang penuh konflik pepentingan menyebabkan banyak ekspor ilegal dikendalikan di kawasan tersebut. Ini tentu merugikan perekonomian negara secara umum dan penerimaaan pajak secara khusus.

Di unit bisnis berbasis perkebunan, modus yang lazim dilakukan adalah tidak melaporkan PBB sesuai dengan fakta. Temuan majalah Tempo menunjukkan banyak perusahaan perkebunan sawit yang melaporkan luas lahan lebih kecil dibanding yang dikelola. Misalnya, di laporan PBB merek hanya melaporkan lahan seluas 10 ribu hektare, padahal mereka mengelola sampai 20 ribu hektare. Bahkan, di Riau, banyak perusahaan sawit yang tidak melaporkan PBB dan tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Modus di atas baru sebagian kecil dari pelbagai modul penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan sawit. Sangat masuk akal bila rasio penerimaan pajak di sektor ini sangat kecil dibanding total nilai ekonominya. Anehnya, semakin bertambah tahun, realisasi penerimaan pajaknya semakin rendah, padahal harga minyak sawit dan produksinya terus meningkat.

Selayaknya ide untuk mengaudit semua perusahaan sawit perlu didukung. Kalau bisa, semua pihak yang terlibat dalam tata kelola industri ini perlu terlibat aktif dalam proses audit dan setelah audit. Tak hanya meningkatkan penerimaan pajak, tujuan akhir dari audit ini adalah penegakan hukum dan perbaikan tata kelola. Kalau itu bisa dilakukan, praktik penghindaran dan penggelapan pajak sawit ini bisa diatasi. Dengan demikian, sistem perpajakan di sektor sawit bisa lebih kredibel dan menjamin kepastian berusahan.

Sumber: koran.tempo.co