Pekerjaan Rumah Pasca-putusan MK

Oleh Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)

Kompas, 15 Februari 2022

 

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji formil Undang-Undang Cipta Kerja sudah dibacakan. Juga sudah banyak pembahasan terkait putusan ini. Putusan itu sendiri memiliki konsep yang cukup jelas, yakni bahwa para pembentuk undang-undang telah melakukan pelanggaran yang sangat fatal dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Setidaknya ada empat pelanggaran yang mendapat teguran keras MK.

 

Pertama, pembentukan UU harus tetap didasarkan pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Meskipun UU ini menggunakan pendekatan baru, yakni model omnibus, peraturan dasar yang ada harus tetap menjadi patokan utama. Seharusnya metode itu dicantumkan dan digariskan dengan merevisi UU yang menjadi tata cara pembentukan UU tersebut.

 

Kedua, pembentukan UU harus menaati asas-asas yang menjadi dasar pembentukan UU. Asas ini akan sangat berpengaruh ke kualitas UU itu sendiri. Ketiga, harus ada pelibatan masyarakat secara luas dan bermakna (meaningful participation) dan pemenuhan hak masyarakat, yakni ”hak untuk didengarkan” (right to be heard), ”hak untuk dipertimbangkan” (right to be considered), dan ”hak untuk dijelaskan” (right to be explained) terkait pendapat dan aspirasi itu.

 

Keempat, suatu UU, tatkala sudah memasuki tahapan pasca-persetujuan, sudah merupakan ”UU jadi” sehingga tak lagi dibenarkan ada perubahan substansi maupun teks yang dapat mengubah makna.

 

Yang menjadi persoalan, meski sudah ada kejelasan mengenai pelanggaran dan MK juga sudah menetapkan rambu-rambu untuk perbaikannya, putusan MK ini masih menjadi perdebatan karena masalah konsep di bagian amarnya.

 

Di situ dicantumkan bahwa UU ini telah cacat secara formil karena bertentangan dengan UUD dan kehilangan daya berlaku secara bersyarat, yakni hingga adanya perbaikan dalam waktu dua tahun.

 

Pada saat yang sama, UU ini masih berlaku sampai dilakukannya perbaikan, MK memerintahkan pembentuk UU melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun. Tak kalah penting, putusan MK memerintahkan untuk menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Juga tak dibenarkan untuk menerbitkan aturan pelaksana yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja (UUCK). Konsepsi amar seperti ini menimbulkan beberapa penafsiran.

 

Tafsir di Putusan MK

Jika membaca secara keseluruhan putusan MK, seharusnya cuma ada dua tafsiran paling mungkin atas putusan ini.

 

Pertama, UU ini memang masih berlaku, tetapi tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Jikapun masih berlaku, keberlakuannya hanya mungkin diberikan atas hal-hal yang sifatnya tak strategis dan tak memiliki dampak luas. Ini karena putusan MK sendiri sudah memerintahkan untuk ditangguhkannya segala kebijakan yang strategis dan berdampak luas. Termasuk di sini, aturan ke depan yang bisa dibuat berdasarkan UU ini, bahkan juga berbagai aturan turunan yang sudah ada saat ini.

 

Kedua, tafsiran yang kurang lebih sama dengan yang pertama, hanya ada sedikit variasi dalam argumentasinya, yakni bahwa UU ini telah kehilangan ”daya mengikat”-nya meskipun masih memiliki ”daya berlaku”. Ini karena memang UU MK memberikan kewenangan ke MK untuk menghilangkan daya ikat suatu UU, sedangkan daya berlakunya tak dihilangkan.

 

Meski secara teoritis daya ikat dan daya berlaku adalah dua hal yang kelihatan berbeda, tetapi memiliki keterkaitan erat.

 

Misalnya, daya berlaku yuridis juga berimplikasi ke daya ikat secara yuridis. Di UU MK, keseluruhan kewenangan MK dalam pembatalan suatu bunyi dan ketetapan UU memang digariskan ke daya ikat. Artinya, dengan menghilangkan daya ikat, pada dasarnya itu sudah merupakan pembatalan yang mengakibatkan UU sama sekali tak bisa dipakai dan diberlakukan di tingkatan konkret meski masih memiliki daya berlaku.

 

Artinya, ”setali tiga uang” dengan penafsiran pertama, implikasinya adalah UU ini juga sudah tak bisa digunakan sama sekali, setidaknya sampai dilakukannya perbaikan sebagaimana diperintahkan oleh MK, dalam kurun dua tahun sejak putusan dibacakan. Jadi, ini dengan sendirinya menjadi semacam ”penangguhan” atas UUCK.

 

Yang mengherankan, pemerintah tampaknya masih berpegang pada tafsir versinya sendiri, yakni bahwa UU ini masih berlaku. Cara pandang pemerintah ini memiliki komplikasi yang tak sederhana jika dikaitkan dengan pasal mana saja yang berlaku, apalagi jika diperhadapkan dengan amar dalam putusan MK yang menangguhkan semua yang bersifat strategis dan berdampak luas.

 

Ketakpatuhan Pemerintah

Adanya penafsiran versi pemerintah sendiri tidak lantas berarti pemerintah bisa menerbitkan peraturan apa pun yang merupakan turunan atau pelaksanaan dari UUCK, karena hal ini secara tegas dilarang oleh putusan MK.

 

Menurut UU No. 30/2014, melawan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat adalah bentuk perbuatan sewenang-wenang. Contohnya adalah langkah pemerintah mengeluarkan Perpres No. 113/2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah.

 

Dalam UUCK, konsep Bank Tanah dilahirkan dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 64/2021 tentang Badan Bank Tanah.

 

PP ini memang dikeluarkan pada 29 April 2021, atau jauh sebelum ada putusan MK. Namun, PP tersebut tak sepenuhnya operasional karena tata laksana berkaitan dengan Bank Tanah ini membutuhkan dikeluarkannya perpres, seperti menyangkut komite, dewan pengawas, maupun badan pelaksana dari Bank Tanah.

 

Herannya, pemerintah tetap menggodok perpres ini meskipun sudah ada putusan MK yang melarang pembuat UU untuk mengambil tindakan atau keputusan yang merupakan lanjutan dari UUCK.

 

Ada kesan pemerintah bertindak ”sembunyi-sembunyi” untuk memuluskan keluarnya Perpres No. 113 ini. Perpres ini telah diundangkan dan diumumkan pemerintah, tetapi tak bisa diakses oleh publik. Kapan diundangkan, juga dikaburkan. Kuat dugaan pembahasan dilakukan tatkala putusan MK telah dibacakan dan ada larangan untuk menerbitkan aturan lebih lanjut dari UUCK.

 

Kondisi ini yang memunculkan sinyalemen dari sejumlah kalangan bahwa ada agenda kepentingan besar, seperti kaum oligarki, di baliknya.

 

Apa yang Harus Dilakukan?

Dari awal, pemerintah tak seharusnya membuat penafsiran sendiri yang memaksakan untuk tetap memberlakukan UUCK dan membuat aturan lanjutannya. Kepatuhan pemerintah pada hukum adalah bagian penting dari konsep negara hukum itu sendiri.

 

Seharusnya ada keseriusan dan tindakan nyata dari pembentuk UU, dalam hal ini pemerintah dan DPR, untuk melakukan perbaikan formil dan materiil atas UUCK dalam waktu dua tahun sejak putusan MK dikeluarkan.

 

Jika sampai saat ini pemerintah dan DPR hanya fokus untuk memperbaiki UU P3, itu sebenarnya bentuk pengingkaran atas putusan MK itu sendiri. Empat pelanggaran yang disebutkan MK mustahil diselesaikan dengan hanya memperbaiki UU P3 semata.

 

Mengubah UU P3 memang harus dilakukan, tetapi bagaimana jawaban atas kewajiban terkait harus adanya meaningful participation dari masyarakat, seperti diminta MK? Bagaimana dengan temuan MK yang menunjukkan adanya perubahan substansi yang mengubah makna dan ketentuan di dalam UUCK setelah tahapan persetujuan?

 

Mustahil hanya mengubah UU P3, tanpa mengulang proses UUCK dari awal. Karena hanya dengan itu, akan bisa mengoreksi perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap UUCK pasca-persetujuan MK.

 

Putusan MK telah memberikan pekerjaan rumah yang bersifat formil dan materil terhadap pembentuk UU atas UUCK. Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan. Pertama, mengubah ketentuan UU No. 12/2011 dengan memasukkan beberapa hal yang berkaitan dengan konsep omnibus, termasuk di dalamnya membangun tata cara untuk mengejawantahkan meaningful participation dalam konsep partisipasi di dalam pembentukan UU.

 

Misalnya, bagaimana hak untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan dijelaskan bisa terlaksana dengan baik.

 

Kedua, menyelesaikan kebutuhan pemangku kepentingan yang begitu luas dalam UUCK. UU ini terlahir dari 11 kluster besar, di mana setiap kluster itu memiliki begitu banyak pihak yang terkait. Oleh karena itu, sebaiknya UU ini dipecah menjadi 11 UU yang akan menjadi paket UUCK.

 

Mengapa harus mengubahnya menjadi 11 UU? Selain membuat setiap UU menjadi lebih fokus dalam satu kluster utama masing-masing, hal itu juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu pemangku kepentingan (stakeholder) pun yang ditinggalkan partisipasi dan aspirasinya dalam pembentukan UU. Ini penting, karena dari pengalaman selama ini, UU Omnibus dalam bentuk ”borongan” yang terdiri atas banyak kluster biasanya selalu bermasalah.

 

Membuat 11 UU yang bersifat omnibus dengan kluster-kluster yang lebih kecil akan sangat membantu proses penyusunan, pengajuan, hingga pembahasan UU. Bayangkan, jika ada 11 panitia kerja yang bergerak secara bersama untuk mengambil aspirasi masyarakat dan membuatnya menjadi UU, pasti ini akan jauh lebih menjamin dipenuhinya meaningful participation dan memperkecil kemungkinan ada shareholder yang tertinggal. Putusan MK tak memerintahkan memecah menjadi 11 UU, tetapi bukan berarti dilarang.

 

Ketiga, jika ada kekhawatiran akan ada ketidaksinkronan dan ketidakharmonisan dalam UU, ini dapat dikawal dengan kelembagaan badan regulasi. Dan ini sekaligus menjadi cara memfungsikan badan regulasi nasional yang dikampanyekan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, bahkan telah menjadi kebijakan dalam tata cara pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU No. 15/2019.

 

Salah satu alasan mengubah UU P3 dengan menambahkan beberapa pasal dalam UU No. 15/2019 adalah adanya kelembagaan regulasi nasional. Dalam pasal-pasal di UU itu, ada nomenklatur dan fungsi yang akan diemban oleh badan regulasi nasional ini, yakni harmonisasi dan sinkronisasi UU.

 

Keempat dan paling penting, cara itu akan memastikan diulangnya proses pembentukan UU, sekaligus memperhatikan dan memperbaiki substansi dari UUCK yang memang banyak masalah.