Keterbukaan Beneficial Ownership dan Penegakan Hukum Kejahat

Mengetahui kepemilikan sebenarnya (beneficial owner) dari perusahaan khususnya perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam (SDA) menjadi penting dalam penuntutan tindak pidana SDA. Selama ini, acap kali perusahaan dijadikan sebagai topeng bagi pelaku kejahatan untuk menghindar dari pertanggungjawaban hukum. Demikian terungkap dalam webinar Bincang Hukum #3-Keterbukaan Beneficial Ownership dan Penegakan Hukum Terhadap Kejatan Sumber Daya Alam Oleh Korporasi pada kamis (13/8) siang.

Webinar yang dimoderator oleh Timer Manurung dan disiarkan langsung melalui kanal youtube ini diselenggarakan oleh Yayasan Auriga bersama Program Kolaborasi Penegakan Hukum Sektor Sumber Daya Alam. Sebagai narasumber hadir Prof Dwidja Priyatno (Guru Besar Hukum Pidana STHB), R. Narendra Jadna, S.H., M.H. (Asisten Khusus Jaksa Agung RI) dan Farisca Utami (Analis Hukum Dirjen AHU). 

Prof Dwidja Priyatno pakar hukum pidana korporasi menjelaskan pentingnya meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, karena selama ini korporasi sering digunakan untuk menyembunyikan identitas pelaku dan hasil tindak pidana, korporasi dijadikan sebagai corporate vehicle/media pencucian uang.

Dwidja menambahkan hingga saat ini perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Saat ini Indonesia mempunyai Perpres No 13 Tahun 2018   tentang penerapan prinsip mengenai pemilik manfaat atas korporasi. Keberadaan Perpres ini sejatinya dapat mempermudah proses penegakan hukum untuk korporasi, karena ada kewajiban perusahaan untuk mendeklarasikan penerima manfaat yang sesungguhnya dari korporasi, lanjut Dwidja.

Narendra Jatna yang juga merupakan dewan pakar di MaPPI FHUI menjelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengejar BO adalah melakukan penegakan hukum secara terpadu, memaksimalkan penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan perlu mendorong untuk dibentuknya pengadilan special chamber. Special chamber mengisyaratkan adanya hakim-hakim yang memiliki spesialisasi tertentu di setiap pengadilan negeri.

Pilihan-pilihan itu diperlukan karena kita (Indonesia) belum bersepakat menempatkan kejahatan SDA (Kehutanan) sebagai kejahatan financial, dan KUHAP pun memberikan batasan bahwa tujuan penyidikan adalah untuk menemukan siapa tersangka dari satu perbuatan. Tersangka yang dimaksudkan adalah mereka yang terlibat langsung dalam kejahatan, tidak ditujukan untuk menjerat orang yang hanya menerima manfaat. Tidak hanya itu kejahatan terhadap sumber daya alam terkategori sebagai adnimistratif penal, dengan kata lain di Indonesia dianggap sebagai kejahatan, sedangkan di negara lain, bisa saja tidak dianggap sebagai kejahatan. Hal ini jelas akan mempersulit untuk tindakan-tindakan ektrateritorial seperti ekstradisi maupun MLA untuk mengejar penerima manfaat yang berada di luar wilayah Indonesia.

Farisca Utami dari Dirjen AHU memberikan penjelasan mengenai konsep penerima manfaat di Indonesia. ia menjelaskan penerima manfaat sebagai orang yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan, dan menerima manfaat baik secara langsung ataupun tidak langsung dari korporasi.

Sesuai dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2018, ada kewajiban dari korporasi untuk menyampaikan pemilik manfaat korporasi pada saat permohonan pendirian, pendaftaran atau pengesahan korporasi dilakukan lanjut Farisca.

Frarisca menambahkan hingga per 4 agustus 2020, dari 988.574 perseoran terbatas, baru 106.283 yang melaporkan BO-nya, dari 231.653 Yayasan, baru 11.302 yang melaporkan BO-nya, dan dari 174.248 perkumpulan baru 5000 yang melaporkan BO-nya. dari data-data tersebut masih sedikit korporasi yang telah melaksanakan kewajiban melaporkan BO-nya.

Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang tidak mendeklarasikan BOnya diantaranya adalah pemblokiran akses korporasi dalam AHU Online, atau menteri dapat menyampaikan rekomendasi tertulis kepada instansi yang berwenang yang menerbitkan izin usaha yang memuat penundaan, pencabutan, atau pembatalan izin usaha.

 

Narasumber dan Presentasi


Waktu dan Lokasi

Hari, tanggal           : Senin, 13 Agustus 2020
Pukul                      : 13.00 – 15.00 WIB    
Lokasi                     :  Kanal Youtube Auriga Nusantara