Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #6

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #6, selengkapnya bisa dibaca di halaman 122-124:

Pada 30 Agustus 2019, hampir satu tahun setelah Moratorium Kelapa Sawit diberlakukan, KLHK di bawah Siti Nurbaya melepas 21.082 ha kawasan hutan di Kabupaten Mimika kepada PT Prima Sarana Graha (PT PSG) untuk perkebunan kelapa sawit. Perusahaan telah mendapatkan izin lokasi pada tahun 2012. Keputusan yang sama juga melepaskan 52 ha untuk fasilitas olahraga di kawasan yang sama.

PT PSG memiliki persetujuan prinsip untuk pelepasan kawasan hutan, yang berarti bahwa perusahaan dapat mengajukan surat keputusan pelepasan kawasan hutan setelah semua persyaratan terpenuhi. Persetujuan ini telah dikeluarkan oleh Zulkifli Hasan pada 25 September 2014 - selama minggu terakhirnya sebagai menteri, ketika ia mengeluarkan banyak izin, keputusan dan persetujuan di seluruh Indonesia, termasuk untuk banyak perusahaan yang dibahas dalam laporan ini.

PT PSG juga memiliki izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua pada 26 Agustus 2014. Oleh karena itu, memenuhi salah satu persyaratan utama dalam Peraturan Menteri LHK 2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan. Namun, investigasi kami belum bisa menunjukkan bahwa penerbitan izin lingkungan diikuti dengan penerbitan IUP. PT PSG tidak disebutkan dalam daftar perusahaan pemilik IUP yang diberikan pemerintah provinsi sebagai tanggapan atas permintaan data dari Greenpeace Indonesia, termasuk dalam daftar terbaru, yang dikirim oleh Dinas Perkebunan Provinsi pada 22 Juli 2020. Kegagalan yang nyata untuk memperoleh IUP selama lima tahun setelah mendapatkan izin lingkungan seharusnya menimbulkan kekhawatiran di kementerian bahwa PT PSG mungkin tidak dapat (atau tidak berniat) untuk mengembangkan konsesinya, yang mengarah pada risiko bahwa area tersebut akan ditelantarkan.

Bagaimanapun, pelepasan kawasan hutan oleh KLHK di bawah Siti Nurbaya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat itu, karena melebihi batas 20.000 ha yang bisa dikeluarkan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan dalam satu tahap.

Terkait kesesuaian pelepasan kawasan hutan dengan Moratorium Kelapa Sawit, dalam SK pelepasan hutan untuk PT PSG, KLHK membenarkan tindakannya dengan menyatakan bahwa hanya diinstruksikan untuk menerapkan moratorium jika permohonan pelepasan kawasan hutan belum mencapai tahap tata batas, yang dalam kasus PT PSG terjadi pada November 2016. Namun hal ini merupakan celah penting dalam moratorium (lihat pembahasan di Bagian 2 laporan ini).

Konsesi tersebut sebagian besar ditandai sebagai hutan sekunder pada peta tutupan lahan nasional, yang berarti sebagian besar tidak terpengaruh oleh Moratorium Hutan, yang hanya melarang penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Namun, terdapat sebagian kecil kawasan hutan rawa primer di dalam konsesi tersebut, yang masih masuk dalam peta moratorium ketika PT PSG memperoleh izin lokasinya dari Bupati Kabupaten Mimika, Klemen Tinal, tahun 2012, artinya dikeluarkannya izin lokasi melanggar Moratorium Hutan. Sejak saat itu, hutan primer ini secara bertahap dihapus dari peta Moratorium Hutan dalam revisi ketiga, keempat dan ketujuh–revisi terakhir setelah perusahaan diberikan persetujuan prinsip untuk pelepasan kawasan hutan. Namun kawasan tersebut masih ditampilkan sebagai hutan primer pada peta tutupan lahan terbaru (2019). SK pelepasan kawasan hutan itu sendiri mengacu pada area hutan rawa primer seluas 118 ha di dalam konsesi, yang tampaknya sesuai dengan area yang dihapus dari peta moratorium.

PT PSG adalah bagian dari Mega Masindo Group, yang dimiliki oleh Paulus George Hung, seorang cukong kayu dari Malaysia yang memiliki beberapa konsesi pembalakan hutan (HPH) di seluruh Tanah Papua. Meskipun namanya muncul di daftar pelaku usaha yang dicurigai melakukan penebangan liar yang menjadi sasaran Operasi Hutan Lestari II tahun 2006, dan menurut laporan majalah Tempo tahun 2011, Hung telah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi, dia dapat menghindari penuntutan dan membangun kembali bisnis pembalakan. Dia dilaporkan mengubah namanya dari Ting Ting Hong menjadi Paulus George Hung dan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sumber di Kementerian Kehutanan mengatakan kepada majalah Tempo pada 2011 bahwa Hung memperoleh izin penebangan baru setelah beberapa kali pertemuan untuk melobi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Mega Masindo Group tidak diketahui mengoperasikan perkebunan kelapa sawit, namun sebelum pemberian pelepasan kawasan hutan kepada PT PSG tahun 2019, pada 2015 Siti Nurbaya menerbitkan keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit kepada dua perusahaan lain dalam grup tersebut: PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawitindo. Kedua perusahaan memiliki konsesi di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Sampai saat ini, kedua konsesi tersebut belum dikembangkan.

Greenpeace Indonesia juga tidak dapat menemukan laporan dari kelompok masyarakat adat setempat atau di media bahwa PT PSG telah aktif di lapangan sejak tahun 2014, dan oleh karena itu mencurigai bahwa konsesinya mungkin akan ditelantarkan. Kurangnya aktivitas baik dari PT PSG maupun perusahaan afiliasinya (PT PLA dan PT SAS di Sorong) di Tanah Papua menimbulkan keraguan apakah Mega Masindo Group memiliki niat serius untuk mengembangkan perkebunan. Konsesi PT PSG terletak sangat dekat dengan Kota Timika, kota yang melayani tambang terbesar di Indonesia, tambang emas dan tembaga Grasberg (Freeport), dan karenanya menarik kekayaan tertentu. Akibatnya, lahan yang dapat dikembangkan di dekat kota dan di luar kawasan hutan merupakan aset yang berpotensi berharga.

Rencana perluasan kota sudah mulai merambah konsesi. Pada Februari 2019, beberapa bulan sebelum keputusan pelepasan kawasan hutan ditandatangani, pemerintah daerah dilaporkan telah bertemu dengan KLHK karena sebagian lahan yang termasuk dalam izin prinsip pelepasan kawasan hutan yang dikeluarkan untuk PT PSG diperlukan untuk kompleks olahraga. Namun, ketika Siti Nurbaya memutuskan untuk melepaskan 52 ha lahan untuk kompleks olahraga ini, tidak jelas mengapa dia memilih momen yang sama untuk melepaskan 21.082 ha untuk perkebunan, berdasarkan izin prinsip yang dikeluarkan hampir lima tahun sebelumnya.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/