Temuan Investigasi EIA: Kasus #1

Selama 2013 dan 2014, Environmental Investigation Agency (EIA) melakukan riset mendalam di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk mengidentifikasi kayu yang diperoleh secara ilegal dari konsesi minyak sawit. Pekerjaan lapangan dilaksanakan bersama-sama dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) cabang Kalteng. JPIK adalah jaringan NGO nasional yang memonitor implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kasus #1, di halaman 10-11 dari laporan berjudul “Permitting Crime”:

 

Indikasi Ketidaksahan:

  • IUP dikeluarkan sebelum persetujuan Izin Lingkungan
  • Beroperasi tanpa Izin Lingkungan
  • Menebang hutan sebelum ada IPK
  • Menebang hutan di luar batas konsesi
  • Beroperasi di Kawasan Hutan
  • Beroperasi di kawasan gambut tebal

 

Pada 2010, Bupati Kotawaringin Timur mengeluarkan serangkaian izin kepada perusahaan minyak sawit. Di antara penerimanya adalah dua perusahaan yang saling terkait: PT Nusantara Sawit Persada (NSP) dan PT Borneo Sawit Persada (BSP).

Hanya dalam dua hari pada Januari, perusahaan-perusahaan itu mendapatkan Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang mencakup secara kumulatif area lebih dari 35.000 ha. Penerbitan izin itu saling berdekatan sehingga tidak terdapat cukup waktu untuk menyiapkan dokumen Amdal, yang mengindikasikan tidak adanya dasar hukum bagi semua IUP yang diberikan.

Pada 5 Agustus 2011, seorang anggota DPRD provinsi mengatakan kepada satu komisi parlemen bahwa NSP beroperasi ilegal dan telah melakukannya sejak 2008. Seorang juru bicara perusahaan menyangkal bahwa operasi perusahaan berlangsung ilegal tapi mengaku tak bisa memperlihatkan IUP karena “masih dalam proses”.

Terlepas dari hal itu, catatan provinsi menunjukkan bahwa hanya lima hari kemudian, pada 9 Agustus 2011, Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan (SK-PKH) kepada NSP. Keputusan ini mengizinkan konsesi NSP seluas 13.008 ha dikonversikan menjadi “non-hutan”, membebaskannya untuk pembangunan perkebunan. Pada Mei tahun berikutnya, Dinas Kehutanan provinsi menyetujui Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) bagi NSP untuk mengambil 9.223 m3 kayu dari semula kurang dari sepertiga konsesinya.

Pada tahap ini proses Amdal belum dijalankan, apalagi disetujui. Dokumen Amdal NSP, belakangan diperoleh EIA, memperlihatkan bahwa direktur perusahaan menandatanganinya pada Desember 2012. Catatan Dinas Lingkungan Hidup provinsi menunjukkan dokumen itu belum disetujui hingga Mei 2013, ketika Izin Lingkungan pada akhirnya dikeluarkan.

Pada saat itu, NSP telah meratakan ribuan hektare hutan. Ini meliputi area yang di dalam peta yang digunakan pemerintah diidentifikasi sebagai gambut dengan kedalaman hingga 8 m—jauh di atas batas 3 m yang diizinkan peraturan. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup 2009, ini merupakan tindakan kriminal, diancam hukuman penjara.

Setelah mendapatkan Izin Lingkungan pada Mei 2013 penebangan hutan meningkat, dan pada Juli 2013 perusahaan diberi IPK lanjutan untuk 7.613 m3 kayu. EIA mengunjungi konsesinya tak lama setelah izin dikeluarkan. Staf perusahaan mengatakan kayu dikirim langsung keluar dari provinsi ke Surabaya, pusat pemrosesan besar di Pulau Jawa.

EIA juga mendapati penebangan terjadi melampaui batas konsesi, sampai sejauh 2 km ke area yang ditetapkan sebagai Hutan Produksi. Ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Kehutanan yang diancam hukuman penjara sampai maksimal 10 tahun.

 

Kasus Masuk Pengadilan

Pada 2014, Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur mendakwa pidana empat individu terkait NSP. Kasus ini diajukan berdasarkan dakwaan yang relatif sempit mengenai penanaman pohon sawit di 18 ha lahan pada 2012 sebelum mendapatkan IUP, sebuah pelanggaran terhadap Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Perkebunan.

Dakwaan itu ditolak sebelum kasusnya disidangkan atas dasar isi dakwaannya “kabur” dan harus disidangkan di pengadilan perdata. Jaksa telah menyatakan niatnya untuk banding ke pengadilan tinggi dan pada Oktober 2014 seorang pejabat kehakiman membenarkan kepada EIA bahwa kasusnya masih di dalam sistem.

Dakwaan itu bertentangan dengan dokumen yang diperoleh EIA yang memperlihatkan NSP telah memiliki IUP pada waktu dilakukannya pelanggaran seperti dituduhkan. Kasus ini tampaknya tidak diajukan berdasarkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang jelas ada buktinya.

Pemberian izin yang bertentangan dengan prosedur—sebelum ada persetujuan terhadap Amdal dan keluarnya Izin Lingkungan—patut diinvestigasi lebih lanjut.

Kasus ini mendemonstrasikan bagaimana konsesi harus menjadi subyek pemeriksaan lebih mendalam bahkan ketika terlihat ada IPK yang sah. Skala tindak kejahatan yang terjadi sebelum IPK dikeluarkan, dan proses ilegal untuk menetapkan hak konsesi, berarti kayu dari konsesi itu harus dianggap ilegal.

 

Kepemilikan Perusahaan

Perwakilan dari NSP dan BSP adalah Teguh Patriawan, Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia di Kalteng dan Wakil Ketua Komisi Tetap Perkebunan Kamar Dagang Indonesia (Kadin).

Patriawan menandatangani dokumen Amdal sebagai Direktur Pengelola dan membuat pernyataan kepada media mengenai isu minyak sawit dalam kapasitas itu.

Perusahaan juga terkait dengan bank investasi Samuel Group yang bermarkas di Jakarta. Dakwaan menetapkan Thomas Tampi sebagai salah satu terdakwa. Tampi adalah Direktur Pengelola PT Samuel Sekuritas Indonesia, cabang dari Samuel Group, dan mendeskripsikan dirinya sebagai CFO dan Direktur NSP.

Tampi juga menyebut dirinya sebagai CFO Cipta Plantation. Sebuah nama domain untuk perusahaan ini didaftarkan oleh seorang pegawai Samuel Group.

NSP di masa lalu telah berbagi alamat resmi dengan perusahaan lain pada studi kasus dalam laporan ini, PT Prasetya Mitra Muda (PMM). Direktur PMM adalah Kurniadi Patriawan. [Lihat bagaian tentang Prasetya Mitra Muda]


Sumber: https://eia-international.org/wp-content/uploads/Permitting-Crime.pdf