Temuan Investigasi EIA: Kasus #4

Selama 2013 dan 2014, Environmental Investigation Agency (EIA) melakukan riset mendalam di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk mengidentifikasi kayu yang diperoleh secara ilegal dari konsesi minyak sawit. Pekerjaan lapangan dilaksanakan bersama-sama dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) cabang Kalteng. JPIK adalah jaringan NGO nasional yang memonitor implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kasus #4, di halaman 15-17 dari laporan berjudul “Permitting Crime”:


Indikasi Ketidaksahan:

  • Tidak mematuhi Instruksi Bupati Gunung Mas No. 4 Tahun 2012
  • Tidak mematuhi Keputusan Gubernur Kalteng No. 188.44/30/2013
  • Melaporkan pengambilan kayu yang lebih rendah
  • IUP dikeluarkan sebelum ada persetujuan Izin Lingkungan

 

Pada Maret 2012, suku Dayak dari sembilan desa turun menuju ibu kota kabupaten. Tujuan mereka adalah menggelar protes damai di luar DPRD setempat, menolak konsesi minyak sawit yang diajukan PT Kahayan Agro Plantation (KAP). Konsesi ini mengancam akan mencaplok ribuan hektare hutan dan usaha kecil perkebunan karet milik masyarakat yang terdapat di dalamnya.

Ini bukan kali pertama desa-desa itu menolak konsesi. Dalam surat kepada Kepolisian Resor sebelum protes berlangsung, yang ditandatangani wakil-wakil dari sembilan desa, mereka menyatakan bahwa mereka telah menolak proposal tersebut dalam surat resmi kepada pemerintah kecamatan dan secara verbal dalam rapat konsultasi Amdal. Mereka telah bertemu pemerintah kabupaten dan provinsi, menegaskan posisi mereka.

Perusahaan mendapatkan Izin Lokasi untuk 17.500 ha pada Februari 2010. Sembilan hari kemudian, Anglo-Eastern Plantation PLC, perusahaan perkebunan sawit yang tercatat di London Stock Exchange, mengakuisisi 95 persen saham senilai US$ 4,6 juta. Dalam dua pekan, Bupati Gunung Mas mengeluarkan IUP mencakup seluruh 17.500 ha tanpa Amdal yang telah disetujui. Meski hal ini melanggar peraturan yang berkaitan dengan IUP, perusahaan tidak memulai penebangan dan karenanya tidak melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup.

Pada saat proses Amdal berlangsunglah masyarakat menyatakan kekhawatirannya dan posisinya terhadap konsesi sudah jelas. “Pada prinsipnya,” mereka kemudian menulis kepada Bupati, “kami sembilan desa tetap pada penolakan terhadap perusahaan sawit PT KAP di area kami."

Menanggapi protes tersebut, Bupati mengeluarkan instruksi resmi pada Maret 2012 kepada direktur KAP (Instruksi No. 4 Tahun 2012). Instruksi ini menyatakan bahwa, jika masyarakat mempertahankan haknya di dalam area IUP, tanah mereka harus dikecualikan dari konsesi. Bupati juga melarang perusahan membeli tanah dari masyarakat, di luar maupun di dalam IUP, tanpa persetujuan dari pemerintah kabupaten. Lebih lanjut instruksi ini mendiktekan, kalau perusahaan melanggar ketentuan-ketentuan dalam instruksi, izinnya akan dikaji ulang oleh Bupati.

Tongkuy, pemimpin adat Tumbang Marikoi, salah satu desa, mengatakan kepada EIA bahwa selama periode itu dia ditawari sogokan untuk menandatangani surat dukungan bagi konsesi. Walau surat seperti itu secara legal tak diperlukan, ia bisa diserahkan kepada Kementerian Kehutanan sebagai dukungan untuk permohonan mendapatkan SK-PKH. Menurut Tongkuy, tawaran itu datang dari pegawai KAP dan dua pejabat senior desa yang mendukung perkebunan.

“Mereka datang di rumah saya di ladang dekat Sungai Apak,” katanya kepada EIA pada Oktober 2014. “Mereka membawa tas dan di dalamnya terdapat kertas. Mereka meminta saya menandatanganinya. Mereka berkata, ‘Anda harus menandatangani ini, karena kepala desa dan camat sudah menandatanganinya dan Anda satu-satunya yang belum. Kalau Anda menandatangani ini, saya akan merenovasi rumah Anda.’”

Tongkuy menolak dan pada September 2012 Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK-KPH untuk 11.385 ha, melepaskan klaimnya atas Kawasan Hutan. Pada Januari 2013, Gubernur Kalteng mengeluarkan keputusan tentang kelayakan perkebunan secara lingkungan (Keputusan No. 188.44/30/2013), instrumen legal formal yang menyetujui Izin Lingkungan. Gubernur memerintahkan KAP mematuhi Instruksi Bupati, menjalankan inventarisasi atas semua klaim tanah di dalam konsesi. Instruksi ini menyebut tanah-tanah adat, yang karenanya konsultasi dan pemetaan mesti melibatkan lembaga-lembaga adat.

Dua bulan kemudian, sebuah IPK dikeluarkan kepada pihak ketiga, PT Kahayan Hutan Lestari, untuk mengekstraksi 57.680 m3 kayu dari 5.384 ha lahan di dalam konsesi.

 

STUDI KASUS:

Mengambil Alih Tanah Adat

Pasal-pasal dalam Instruksi Bupati maupun Keputusan Gubernur yang mewajibkan inventarisasi tanah-tanah adat di area tersebut ada dasarnya dalam peraturan provinsi. Pada 2009, Gubernur mengeluarkan sebuah peraturan yang, untuk pertama kalinya, secara formal mengakui hak adat atas tanah dan membuat sistem agar hak itu secara formal terdaftar dalam sistem tanah negara.

Peraturan itu memberi tenggat enam tahun, yang selama periode ini inventarisasi harus dirampungkan, tapi hingga saat Izin Lingkungan KAP diberikan hal ini belum dilakukan di desa-desa yang terpengaruh.

Setelah Tongkuy ditawari sogokan untuk mendukung konsesi, dia bertandang ke Jakarta bersama seorang anggota parlemen yang bersimpati untuk memohon kepada Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian agar mencabut konsesi. Dia disarankan oleh Kementerian Kehutanan untuk menghubungi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) cabang Kalteng. AMAN adalah aliansi masyarakat adat yang telah memimpin perjuangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak adat. Pada September 2013, AMAN Kalteng menginisiasi proses pemetaan partisipatoris untuk memetakan tanah-tanah adat di Tumbang Marikoi.

Namun pada saat itu, KAP telah memulai prosesnya dalam mengakuisisi tanah. Warga desa mengatakan kepada EIA dan JPIK bahwa pegawai KAP menandai lokasi usaha-usaha kecil di dalam konsesi dan membayar secara pukul rata Rp 2,5 juta (US$ 200) per hektare.

Menurut hukum adat masyarakat, hak pemangkuan tanah individu dilaksanakan melalui penebangan dan penggunaan hutan. Area yang belum dibuka—“hutan potensial”—digunakan untuk keperluan bersama dan dieksploitasi secara berkelanjutan oleh masyarakat. Berkat hal itulah hutan dalam area yang luas masih bertahan dalam tanah masyarakat. Untuk mengakuisisi area ini, perusahaan mendorong orang per orang memberi batas, seakan-akan menjadikannya untuk penggunaan pribadi, dan membayar dengan jumlah yang sama.

Jelas hal ini tak sesuai dengan proses yang diwajibkan untuk secara patut mengevaluasi klaim hak atas tanah, terutama karena gagal memperhitungkan kepemilikan komunal. Proses yang diinisiasi AMAN Kalteng belum dirampungkan tapi sudah terlambat—pada akhir 2013, penduduk dua desa mengatakan kepada EIA bahwa sebagian besar telah menjual tanahnya.

Menjadi jelas bahwa KAP tidak mematuhi instruksi Bupati maupun Gubernur agar secara patut memetakan klaim hak dalam konsesi. Melakukan hal ini bakal memerlukan proses yang lebih mendalam, memanfaatkan prinsip yang telah ada untuk memetakan secara partisipatoris. Makanya, tanah adat tidak dikecualikan dari area IUP.

Bupati juga menginstruksikan bahwa tidak ada tanah masyarakat yang bisa dijual tanpa izin pemerintah. Dugaannya adalah pemerintah akan melindungi hak masyarakat atas tanah, bertindak sebagai pemeriksa akuisisi tanah. Dalam praktiknya, yang terjadi adalah penjualan tanah secara cepat dengan harga murah. Anggota masyarakat menyatakan bahwa tidak adanya dokumen bagi klaim mereka telah menimbulkan ketidakpastian atas hak dan mendorong orang per orang menjual.

Alih-alih melindungi masyarakat, pemerintah kabupaten memfasilitasi pengalihan besar-besaran sumber daya mereka—tanah maupun kayu—kepada sebuah perusahaan swasta. Penerimaan dari hampir 60.000 m3 kayu pada 2013 saja mungkin melampaui harga yang dibayarkan kepada masyarakat untuk tanahnya.

Baik masyarakat dan NGO lokal sudah mengemukakan keraguan mengenai volume kayu yang dilaporkan dalam konsesi. IPK mengidentifikasi sekitar 10 m3 kayu per hektare, kurang dari sepertiga hasil rata-rata berdasarkan angka Kementerian Kehutanan.

Anggota masyarakat menaksir potensi sebenarnya dari hutan tersebut adalah antara 50-100 m3 per hektare. Menggunakan estimasi terendah akan mendapatkan hasil 270.000 m3 dari hutan dalam konsesi. Pada perkiraan konservatif, nilai dari kayu-kayu ini bakal melebihi US$ 50 juta—di atas 20 kali dari yang dibayarkan perusahaan untuk seluruh tanah masyarakat. Berdasarkan estimasi hasil kayu dan harga di pasar global yang lebih tinggi untuk spesies yang ada, nilainya bisa melampaui US$ 100 juta.

Kasus bahwa kayu itu dinilai lebih rendah didukung oleh kontrak pasokan yang dikemukakan lima pabrik penggergajian yang membeli dari konsesi. Menurut data pemerintah provinsi, PT Kahayan Hutan Lestari dikontrak untuk memasok mereka dengan 68.000 m3 pada 2013, jauh di atas kayu yang diizinkan untuk diambil pada 2013 berdasarkan IPK.

Sementara itu, masyarakat dilarang mengekstraksi kayu dari hutannya, pengekangan yang ditegakkan dengan brutal. Pada September tahun ini seorang warga desa dari Tumbang Marikoi sedang menebang sebuah pohon manakala dia mendengar tembakan senjata api. Seorang petugas keamanan yang bekerja untuk KAP mengatakan kepadanya agar meninggalkan tanah perusahaan.

“Dia berkata, ’tidak boleh lagi menebang pohon di sini, seluruh area ini telah dibeli oleh perusahaan kayu’,” kata warga desa itu kepada EIA. “Kami tak pernah menjual seinci pun tanah atau hutan kepada perusahaan itu. Tak pernah.”
 

Sumber: https://eia-international.org/wp-content/uploads/Permitting-Crime.pdf