Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #5

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #5, selengkapnya bisa dibaca di halaman 118-121:

Kasus ini melibatkan tiga konsesi di Kabupaten Mappi yang memperoleh izin lokasi pada Juli 2013. PT Bangun Mappi Mandiri (PT BMM) mendapat izin lokasi untuk tanaman pangan, sedangkan PT Mappi Sejahtera Bersama (PT MSB) dan PT Himagro Sukses Selalu (PT HSS) mendapat izin lokasi untuk perkebunan karet. PT BMM dan PT MSB dimiliki oleh anggota keluarga Asmadi, yang memiliki perusahaan Grup Himalaya. PT HSS diasumsikan menjadi bagian dari grup yang sama, karena terdaftar dengan alamat yang sama dan alamat pribadi pemegang saham mayoritas Liong Lily Endah Sintawati yang tercantum dalam profil perusahaan sesuai dengan alamat anggota keluarga Asmadi. Tidak ada konsesi perkebunan lain yang diketahui milik grup ini, yang sebelumnya berspesialisasi dalam produksi mesin industri.

Kontroversi meliputi status Moratorium Hutan dari ketiga konsesi ini. Pada revisi kelima peta moratorium pada November 2013, semua area dalam konsesi yang sebelumnya ditandai sebagai hutan primer telah dihapus dari peta, dan perubahan dilakukan pada batas-batas kawasan gambut. Selama revisi moratorium keenam pada Mei 2014, semua area yang sebelumnya diindikasikan sebagai gambut, dalam batas ketiga konsesi telah dihapus dari peta.

Kerangka acuan AMDAL tahun 2016 untuk salah satu perusahaan, PT BMM, menjelaskan bahwa dasar klaim perusahaan bahwa tidak terdapat hutan primer adalah survei yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua pada 14 Desember 2013. Demikian pula Survei Identifikasi Gambut No. 87 yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) pada bulan April 2014 disebutkan dalam dokumen yang sama telah menjadi dasar klaim bahwa tidak ada gambut. Halaman sampul untuk survei BBSDLP disertakan dan menunjukkan bahwa survei tersebut hanya untuk konsesi PT BMM, sehingga dapat disimpulkan bahwa survei dilakukan atas permintaan PT BMM. Tabel korespondensi KLHK mencatat surat yang dikirim dari direksi ketiga perusahaan pada Agustus 2014, yang menyatakan bahwa keseluruhan dari ketiga konsesi tersebut adalah tanah mineral, bukan gambut (barangkali berdasarkan survei ini dan survei serupa untuk PT HSS dan PT MSB).

Kronologi kejadian yang tersirat dalam dokumen yang disebutkan di atas tampaknya tidak sesuai dengan tanggal perubahan peta. Tanggal yang disebut di dalam kerangka acuan dokumen Amdal untuk survei Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua adalah satu bulan setelah dihapusnya hutan primer dari peta moratorium. Demikian pula, surat-surat dari perusahaan mengenai dugaan tidak adanya gambut, ternyata diterima oleh kementerian tiga bulan setelah revisi peta moratorium. Ketidakkonsistenan ini mungkin mengarah pada kesepakatan informal di luar proses yang didokumentasikan.

Lebih serius lagi, terdapat banyak bukti bahwa gambut dan hutan primer yang luas memang ada di dalam konsesi dan bahwa area yang dihapus dari peta moratorium seharusnya tidak dihilangkan sama sekali. KLHK dan badan pemerintah lainnya terus mengembangkan strategi pengelolaan di kawasan tersebut berdasarkan bukti bahwa gambut ada di dalam tiga konsesi. Pemetaan Kesatuan Hidrologis Gambut sebagaimana diamanatkan oleh peraturan Menteri LHK pada 2016 tentang pengelolaan gambut telah mengidentifikasi jaringan kawasan gambut di DAS Sungai Jaman Kawarga - Sungai Samaleki Digul, termasuk bagian dari ketiga konsesi. Badan Restorasi Gambut bahkan mengidentifikasi kesatuan tersebut sebagai salah satu dari tiga prioritasnya di Papua untuk tahun 2020. Setelah survei ekstensif, badan tersebut merekomendasikan bagian dari konsesi PT MSB dan PT HSS untuk dimasukkan dalam program restorasi lahan gambut yang terbakar dalam kebakaran tahun 2015.

Selain itu, survei terbaru (2019) oleh BBSDLP, badan yang bertanggung jawab atas survei tahun 2014 yang menyebabkan beberapa perubahan dalam peta moratorium, menunjukkan wilayah gambut yang luas dengan kedalaman antara 50 cm dan 100 cm di ketiga konsesi. Oleh karena itu, klaim perusahaan bahwa tidak ada gambut di dalam konsesi ini tidak dapat dianggap kredibel.

Hilangnya hutan primer pada gilirannya dipertanyakan dengan adanya peta tutupan lahan 2019 yang dikeluarkan oleh KLHK. Peta tersebut menunjukkan kawasan hutan primer di ketiga konsesi, seperti yang ditunjukkan dalam semua keluaran peta sebelumnya, meskipun kawasan ini telah dikeluarkan dari peta Moratorium Hutan. Selain itu, AMDAL dari ketiga perusahaan tersebut mengakui keberadaan gambut dan hutan primer. Studi Amdal PT MSB menunjukkan bahwa 14% dari konsesi terdiri dari histosol (istilah ilmiah untuk tanah–terutama gambut–yang sebagian besarnya terdiri dari bahan organik) dan 19,4% di antaranya adalah hutan primer. Studi AMDAL PT HSS menunjukkan 13% dari konsesi sebagai gambut (berlabel organosol–sinonim untuk histosol), dan 21% sebagai hutan primer. Angka yang diberikan dalam studi Amdal PT BMM adalah 2% organosol dan 49% hutan primer.

Permintaan Greenpeace Indonesia untuk informasi mengenai survei dan metodologi di balik perubahan pemetaan gambut dan hutan primer dalam kasus ini dan kasus lain dari BBSDLP, KLHK, dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua telah ditolak atau diabaikan.

Meskipun ada bukti bahwa survei tutupan lahan dan gambut oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan BBSDLP ternyata berisi informasi yang salah, Kementerian Siti Nurbaya menerbitkan keputusan pelepasan kawasan hutan untuk ketiga konsesi antara Juli dan Oktober 2017. Untuk dua konsesi perkebunan karet, total dari 57.987 ha dilepaskan pada periode ini sehingga bertentangan dengan peraturan kementeriannya yang menetapkan batas 20.000 ha untuk dilepaskan ke suatu grup perusahaan di satu provinsi sampai evaluasi pelepasan sebelumnya menentukan apakah konsesi telah dikembangkan. Konsesi PT BMM tidak terdampak persyaratan ini karena komoditas yang direncanakan diklasifikasikan sebagai tanaman pangan dan bukan tanaman perkebunan.

Tidak ada di antara perusahaan-perusahaan tersebut yang membuka lahan dalam tiga tahun sejak kementerian melepaskan konsesi mereka dari kawasan hutan, tetapi lahan tersebut tetap berada di luar kawasan hutan dan dikeluarkan dari peta Moratorium Hutan. Dalam konsultasi baru-baru ini yang diselenggarakan oleh KLHK, seorang pejabat dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Mappi mengamati bahwa kantornya tidak yakin akan status atau rencana ketiga perusahaan tersebut.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/