Temuan Investigasi EIA: Kasus #2

Selama 2013 dan 2014, Environmental Investigation Agency (EIA) melakukan riset mendalam di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk mengidentifikasi kayu yang diperoleh secara ilegal dari konsesi minyak sawit. Pekerjaan lapangan dilaksanakan bersama-sama dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) cabang Kalteng. JPIK adalah jaringan NGO nasional yang memonitor implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kasus #2, di halaman 12 dari laporan berjudul “Permitting Crime”:

 

Indikasi Ketidaksahan:

  • Beroperasi tanpa Izin Lingkungan
  • IUP dikeluarkan sebelum ada persetujuan Izin Lingkungan
  • Menebang hutan sebelum ada IPK
  • Beroperasi di kawasan hutan

 

Pada Juli 2013, EIA dan JPIK mendatangi sebuah konsesi yang dioperasikan PT Flora Nusa Perdana (FNP) di Gunung Mas, kabupaten yang relatif terpencil dan kurang berkembang di pusat suku asli Dayak di Kalteng.

FNP mendapatkan Izin Lokasi pada 2006 dan IUP pada pertengahan 2007, mencakup area di bawah 10.000 ha. Analisis data satelit EIA mengindikasikan bahwa sekitar 85 persen dari konsesi ini pada waktu itu masih terkaver hutan.

Pemerintah provinsi tak memiliki catatan bahwa FNP pernah mendapatkan Izin Lingkungan atau IPK, dan Kementerian Kehutanan membenarkan bahwa pada 2013 proses pembebasan hutan (SK-PKH) masih dalam “tahap permohonan”. Meski demikian, sejak 2007 FNP telah menebang 4.500 ha hutan.

Kunjungan lapangan EIA memastikan bahwa sebagian besar dari area ini telah ditanami kelapa sawit, sementara ekstraksi dari tegakan kayu komersialnya masih berlangsung. Pada kunjungan pertama, ada dua pabrik penggergajian kayu yang dioperasikan di jalan menuju area konsesi, dengan tumpukan kayu-kayu gelondongan besar. EIA yakin salah satunya, dan mungkin juga yang lain, diberi izin untuk memproses kurang dari 2.000 m3 kayu per tahun dan karenanya berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten.

Berdasarkan estimasi Kementerian Kehutanan terhadap tegakan kayu di hutan sekunder dan area yang telah ditebang, volume ekstraksi kayu dari konsesi sejak 2007 mungkin mencapai lebih dari 150.000 m3. Semua ekstraksi kayu dari konsesi dilakukan secara ilegal, melanggar Undang-Undang Kehutanan maupun Undang-Undang Lingkungan Hidup.

 

Kasusnya Dibawa ke Pengadilan

Pada Oktober 2008, seorang pemimpin adat setempat melaporkan FNP ke Kepolisian Daerah melalui seorang pengacara dari Palangkaraya. Laporan itu menuduh perusahaan melakukan pembalakan liar di hutan primer tanpa SK-PKH atau IPK.

Selanjutnya, Direktur Reserse Kriminal di Kepolisian Daerah melancarkan investigasi dan petugas melakukan kunjungan ke lapangan, pada November dan Desember 2008. Temuan investigasi ini, menurut laporan, membenarkan bahwa FNP telah merambah ke dalam Kawasan Hutan, melanggar Undang-Undang Kehutanan.

Tiga tahun kemudian, Kepala Kepolisian Daerah mengeluarkan pernyataan publik bahwa perusahaan ini merupakan satu dari sembilan yang diinvestigasi karena melanggar Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, dan peraturan lain.

Seorang polisi di unit reserse kriminal di Kepolisian Daerah membenarkan kepada EIA dan JPIK bahwa temuan dari investigasi itu diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Gunung Mas pada Januari 2009. EIA tak bisa memastikan tindakan apa yang diambil, dan hingga kini penebangan hutan—dan pengambilan kayu—terus berlangsung.

 

Sumber: https://eia-international.org/wp-content/uploads/Permitting-Crime.pdf