Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #4

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #4, selengkapnya bisa dibaca di halaman 112-117:

Pada 31 Agustus 2012 Bupati Boven Digoel mengeluarkan izin lokasi baru untuk empat perusahaan. Satu di antaranya PT Tunas Sawa Erma (PT TSE), merupakan bagian dari Korindo Group, dan sudah mengoperasikan dua perkebunan di Boven Digoel. Sisanya perusahaan lain, PT Visi Hijau Nusantara (PT VHN), PT Duta Visi Global (PT DVG) dan PT Wahana Agri Karya (PT WAK) saat itu merupakan anak perusahaan PT Star Vyobros, yang dimiliki oleh pengusaha Edi Yosfi, seorang tokoh terkemuka di Partai Amanat Nasional (PAN).

PAN juga merupakan partai Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan antara 2009 dan 2014. Sebagai menteri, Zulkifli Hasan melepaskan lahan dari kawasan hutan kepada keempat perusahaan tersebut di hari- hari terakhir jabatannya. Dengan demikian, ia melanggar aturannya sendiri mengenai tata cara pelepasan kawasan hutan, yang pada saat itu menetapkan salah satu syarat pelepasan kawasan hutan adalah IUP yang masih berlaku. Ini juga menyiratkan bahwa proses AMDAL perusahaan harus telah selesai dan izin lingkungan telah terbit. Tak satupun dari empat perusahaan saat itu yang mengantongi IUP atau izin lingkungan.

Selain itu, kawasan hutan yang dilepaskan kepada perusahaan termasuk wilayah yang ditandai sebagai gambut di bawah Moratorium Hutan. Area terluas berada di konsesi PT TSE (2.650 ha) tetapi area yang lebih kecil di konsesi PT DVG dan PT WAK (masing-masing 313 ha dan 76 ha) juga dilepaskan. Area ini akhirnya dihapus dari peta moratorium. Greenpeace Indonesia menyurati KLHK pada 1 Desember 2020 menanyakan alasannya, tetapi sampai laporan ini terbit belum menerima balasan.

Contoh lain Menteri Zulkifli Hasan melanggar peraturan kementeriannya seperti pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan yang belum memperoleh IUP, telah disajikan dalam laporan ini. Namun, kasus ini menjadi perhatian khusus sebab Edi Yosfi dan Zulkifli Hasan sama-sama menonjol di PAN. Khususnya, pada hari yang sama ketika Menteri Zulkifli Hasan mengeluarkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan kepada PT VHN dan PT WAK, ia melepaskan seluas 11.404 ha di Provinsi Maluku Utara kepada PT Manggala Rimba Sejahtera, sebuah perusahaan yang dibeli Yosfi pada Desember 2013.

Pada saat pelepasan kawasan hutan, Edi Yosfi tidak lagi menjadi pemilik sah perusahaan - pada 2013, 80% saham masing-masing PT VHN, PT WAK dan PT DVG telah berpindah tangan ke orang lain, yang diyakini sebagai rekanannya atas dasar bahwa mereka terlibat dalam perusahaan lain yang terkait dengannya. Salah satu individu yang mendapat saham adalah adik perempuannya, Desi Noferita. Tampaknya masuk akal bahwa Desi Noferita hanyalah pemegang saham nominee, atas nama saudara laki-lakinya–sebuah peran yang tampaknya dia penuhi sehubungan dengan beberapa bekas konsesi Menara Group di seberang Sungai Digoel.

Ketika mantan perusahaan Menara Group PT MJR, PT KCP, PT GKM dan PT ESK dijual kepada pemilik baru yang diyakini terkait dengan HSA Group pada bulan Juli 2012. Masing-masing 20% saham dikeluarkan kepada perusahaan induk yang beralamat di sebuah kantor yang juga menjadi alamat resmi banyak perusahaan Edi Yosfi. Catatan dari perusahaan induk ini mengungkapkan bahwa Desi Noferita telah mengambil alih 70% kepemilikan di masing-masing perusahaan tersebut pada bulan Desember 2011, dan bahwa 30% sisanya dari setiap perusahaan dimiliki oleh pemimpin Menara Group Chairul Anhar dan rekannya Mohamad Hekal melalui perusahaan induk lain bernama PT Menara Systec Indonesia. Ini terjadi sebelum Zulkifli Hasan memberikan pelepasan kawasan hutan kepada salah satu perusahaan perkebunan. Tujuh bulan kemudian, ketika PT MSI mengambil saham minoritas di empat bekas perusahaan perkebunan Menara Group pada saat mereka dijual. Keempat perusahaan perkebunan tersebut telah dikeluarkan dari kawasan hutan. Tanggal Desi Noferita mengakuisisi saham PT MSI menunjukkan bahwa penjualan tersebut mungkin telah direncanakan selama beberapa waktu. 

Penerbitan SK pelepasan kawasan hutan kepada PT DVG, PT VHN, dan PT WAK bukanlah kali pertama bagi ketiga perusahaan yang terkait dengan Edi Yosfi itu dapat bantuan istimewa dari Kementerian Kehutanan. Tabel korespondensi kementerian menunjukkan bahwa pada November 2013, perwakilan dari tiga perusahaan yang sama ditambah PT TSE menulis sejumlah surat kepada kementerian, meminta agar tanah di konsesi mereka dihapus dari Moratorium Hutan, atas dasar survei yang diduga menunjukkan bahwa tanahnya adalah hutan sekunder. Semua lahan yang ditandai sebagai hutan primer pada empat konsesi kemudian dihapus dari peta Moratorium Hutan pada revisi kelima di bulan yang sama. Sebagian kecil gambut telah dihapus dari peta moratorium di konsesi PT DVG pada revisi keenam pada Mei 2014. 

Namun demikian, pembaruan data tutupan lahan tahunan dari KLHK tahun 2019, berdasarkan analisis perubahan citra Landsat, terus menunjukkan keberadaan hutan primer di semua konsesi, termasuk 25.184 ha di konsesi PT DVG, 5.226 ha di PT VHN, 617 ha di PT WAK dan 1.150 di PT TSE. Data dari salah satu perusahaan juga menunjukkan adanya hutan primer: dalam rancangan Amdal yang disiapkan untuk PT WAK pada tahun 2017, analisis tutupan lahan berdasarkan satu citra satelit menunjukkan area kecil hutan primer di ujung utara konsesi. PT DVG dan PT VHN tidak menyerahkan studi Amdal saat ini. Berdasarkan informasi yang diterima dari instansi pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten, Greenpeace belum menemukan bukti bahwa Amdal PT WAK pernah disetujui, dan percaya bahwa tidak satupun dari tiga perusahaan eks-PT Star Vyobros yang terkait dengan Edi Yosfi pernah berhasil mendapatkan izin lingkungan atau IUP, dan konsesi mereka ditelantarkan begitu saja. PT TSE memang mendapatkan izin lingkungan dan IUP pada 2015, disusul HGU pada 2018, tetapi, berdasarkan analisis foto citra satelit belum ada pembukaan lahan.

Pada 25 Juli 2018 Bupati Boven Digoel mengeluarkan SK 525/215/2018 yang mencabut izin lokasi PT WAK, PT DVG dan PT VHN. Meski konsesi masih berhutan dan perusahaan Edi Yosfi tidak lagi memiliki izin, lahan tetap berada di luar kawasan hutan–berkat Menteri Zulkifli Hasan yang melepaskan kawasan hutan kepada perusahaan sebelum mereka membuktikan bahwa mereka mampu memperoleh izin yang mereka butuhkan untuk mengoperasikan perkebunan. Apalagi lahan tersebut tetap dikecualikan dari Moratorium Hutan. Kecuali jika lahan dikembalikan ke kawasan hutan (saat ini tidak ada mekanisme rutin untuk proses ini, tetapi dapat dilaksanakan melalui Moratorium Kelapa Sawit), para pemimpin setempat dapat memilih untuk memberikan konsesi kepada perusahaan lain. Bahkan, perusahaan milik Indonusa Group (PT Indoagro Surya Alam, PT Indoagro Persada Lestari, PT Indoagro Daya Adimulia, dan PT Indoagro Alam Sejahtera) diyakini sudah melakukan pendekatan dengan masyarakat adat di kawasan tersebut. Pada Oktober 2019, Indonusa Group dilaporkan telah membagikan beras, mie instan, dan uang kepada penduduk desa di desa Miri. Perusahaan Indonusa Group, PT Internusa Jaya Sejahtera telah mengoperasikan perkebunan di dekat Kabupaten Merauke.

Greenpeace Indonesia menulis kepada Dinas Penanaman Modal Boven Digoel meminta informasi mengenai perizinan terbaru. Dinas menanggapi, tetapi tidak memberikan data apakah ada izin yang dikeluarkan untuk Grup Indonusa. 

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/