Temuan Investigasi EIA: Kasus #3

Selama 2013 dan 2014, Environmental Investigation Agency (EIA) melakukan riset mendalam di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk mengidentifikasi kayu yang diperoleh secara ilegal dari konsesi minyak sawit. Pekerjaan lapangan dilaksanakan bersama-sama dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) cabang Kalteng. JPIK adalah jaringan NGO nasional yang memonitor implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kasus #3, di halaman 13-14 dari laporan berjudul “Permitting Crime”:

 

Indikasi Ketidaksahan:

  • Beroperasi tanpa Izin Lingkungan
  • IUP dikeluarkan sebelum persetujuan untuk Izin Lingkungan
  • Menebang hutan sebelum ada IPK
  • Beroperasi di Kawasan Hutan

 

Saat berada di sekitar lokasi FNP pada Juli 2013, EIA dan JPIK menemukan sebuah area yang luas yang telah diratakan di dalam hutan. Menurut peta pemerintah provinsi, di lokasi itu tidak terdapat konsesi dalam wujud apa pun. Para pekerja di sana mengatakan bahwa itu merupakan konsesi kebun sawit milik sebuah perusahaan bernama PT Prasetya Mitra Muda (PMM).

Nama tersebut tidak muncul di dalam catatan mana pun, kecuali di dalam sebuah daftar konsesi yang telah diberi izin prinsip pembebasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan itu telah memperoleh Izin Lokasi dan Kementerian Kehutanan telah memutuskan ada alasan area itu dibebaskan dari kawasan hutan, tapi tidak lebih.

Pada Juli, JPIK mengajukan permohonan tertulis kepada Dinas Perkebunan kabupaten untuk mendapatkan informasi dasar perizinan PMM, dan konsesi lain, tapi ditolak.

Sepanjang tahun berikutnya, JPIK terus memonitor konsesi itu di lapangan dan EIA melakukan analisis satelit. PMM memulai penebangan pada April 2013, memproses kayu gelondongan di dua pabrik penggergajian di dekat FNP. Pada paruh kedua tahun yang sama laju penebangan hutan bertambah pesat dan jumlah pabrik penggergajian pun berlipat. Pada pertengahan 2014 paling tidak 400 ha hutan yang lebat telah ditebang dan sekurang-kurangnya 12 pabrik penggergajian bermunculan untuk memproses ribuan meter kubik kayu ilegal yang sangat bernilai.

JPIK sekali lagi berupaya mendapatkan data mengenai pabrik penggergajian maupun konsesi dari dinas kabupaten pada April 2014, tapi lagi-lagi ditolak. Ketika JPIK bertanya kepada seorang pejabat di Dinas Kehutanan apakah pabrik-pabrik penggergajian tersebut telah menjalankan audit SVLK, pejabat itu mengaku tak tahu-menahu tentang SVLK.

 

Rungan-Kahayan

Sementara informasi tentang PMM di lapangan minim, sebuah gambaran yang lebih baik muncul mengenai hutan yang jadi sasarannya.

Penebangan hutan itu terjadi di timur Sungai Rungan, anak dari Sungai Kahayan, yang terpanjang di provinsi. Di pertemuan kedua sungai terdapat area hutan yang luas yang relatif bebas dari gangguan, yang menyimpan sejumlah kekayaan biodiversitas di Kalimantan.

Blok Rungan-Kahayan sepenuhnya masih terhindar dari eksploitasi yang telah menghancurkan area yang luas di Kalteng dalam beberapa dasawarsa yang lalu. Sebuah studi tentang habitat yang masih bertahan yang dipublikasikan pada 2004 menemukan bahwa sangat mungkin ia menjadi rumah bagi lebih dari 1.000 orang utan.

Sebuah studi lebih detail yang dilaksanakan di dekat lokasi PMM pada 2010 mendapati adanya hutan yang “masih asli dan beragam” yang menyimpan “salah satu dari area paling kaya yang bisa disaksikan di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan satwa liar”. Keberadaan spesies dalam jumlah besar yang dikategorikan terancam atau secara kritis terancam didokumentasikan, meliputi orang utan, owa Kalimantan, trenggiling Sunda, dan elang Wallace.

Hutannya dilindungi berkat penjagaan yang hati-hati oleh desa terdekat, Mungku Baru. Suku Dayak dari desa ini mengembangkan kepercayaan kultural yang mendalam terhadap kekeramatan pohon ulin, yang di Kalimantan juga dikenal sebagai kayu besi atau Eusideroxylon zwageri, yang menghasilkan kayu padat dan indah dan telah menjadi subyek eksploitasi. Kepercayaan ini mendorong suku Dayak untuk melindungi hutannya dengan gigih dan berhasil, tapi mereka kini dalam ancaman perkebunan ilegal.

 

STUDI KASUS:

Sumpah dari Mitra-Mitra Muda

Pada Oktober 2014, EIA dan JPIK akhirnya mendapatkan salinan Andal PMM, meski bukan dari sumber pemerintah. Dokumen ini menjelaskan hal-hal baru tentang perusahaan, pemiliknya, dan lokasi konsesi.

Perusahaan didirikan pada Agustus 2010 oleh Yantoni Kerisna, William Kerisna, dan Aries Liman. Yantoni Kerisna, kala itu 50 tahun, adalah pendiri kontraktor yang menjalankan penebangan bagi puluhan perusahaan minyak sawit di Kalteng. William Kerisna kala itu baru berusia 27 tahun.

Pada April 2012, perusahaan mendapatkan Izin Lokasi dari Bupati untuk 13.883 ha. Delapan bulan kemudian sebuah pernyataan pemegang saham menunjuk William Kerisna sebagai Direktur Pengelola dan Kurniadi Patriawan yang berusia 25 tahun sebagai Direktur.

Andal PMM dan dokumen pendirian menyebutkan alamat perusahaan sebagai sebuah kondominium di Jakarta, yang juga alamat rumah Kerisna yang paling muda. Tapi pernyataan pemegang saham memberikan alamat alternatif yang sesuai dengan alamat PT Nusantara Sawit Persada. [Lihat bagian tentang PT Nusantara Sawit Persada]

Perusahaan Yantoni Kerisna, PT Fortuna Farmindo, diberi kontrak tahun jamak untuk melaksanakan penebangan dan persiapan bagi kedua perusahaan.

Ada konsistensi dalam pengabaian yang diperlihatkan NSP dan PMM mengenai proses perizinan. Andal PMM bertarikh Januari 2014, setelah perusahaan memulai penebangan hutan. Seorang kepala desa di kawasan itu mengatakan kepada EIA dan JPIK bahwa dia menghadiri rapat konsultasi mengenai Amdal di ibu kota Gunung Mas pada Mei 2014. Saat itu Izin Lingkungan telah dikeluarkan, meski PMM sudah menebang ratusan hektare hutan dan mengambil ribuan meter kubik kayu.

Peta dalam dokumen Amdal memperlihatkan bahwa konsesi sebagian besar berupa hutan dan terbentang hingga ke dalam hutan Mungku Baru.

Peta yang sama juga menonjolkan kemungkinan bahwa konsesi bakal menimbulkan konflik dengan dan di antara masyarakat setempat. Hal ini terutama berlaku bagi Desa Bereng Malaka dan Desa Parempei, yang terjepit di antara blok-blok konsesi, yang secara efektif mengisolasi keduanya di tanah memanjang yang sempit di sepanjang Sungai Rungan. JPIK telah mendokumentasikan bukti bahwa perselisihan sudah mulai timbul, yang bakal diperburuk begitu tanah yang tersedia bagi masyarakat menyempit.

Pada November, Dinas Kehutanan provinsi membenarkan bahwa IPK telah dikeluarkan untuk PMM pada Juni 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa dokumen Amdal telah disetujui dan Izin Lingkungan sudah dikeluarkan. Izin-izin ini merupakan legitimasi post hoc atau setelah kejadian terhadap kejahatan kehutanan dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.

 

Sumber: https://eia-international.org/wp-content/uploads/Permitting-Crime.pdf