Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #1

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #1, selengkapnya bisa dibaca di halaman 88-102:


Pada hari yang sama di bulan Desember 2007, tujuh perusahaan diberikan izin lokasi yang mencakup blok yang sebagian besar hutan primer yang terletak di sebelah barat Sungai Digoel di Boven Digoel, tidak jauh dari pusat kabupaten, Tanah Merah, dan mencakup total 270.352 ha dengan areal gambut yang luas. Masing-masing dari ketujuh perusahaan tersebut memiliki dua pemegang saham yang juga menjabat sebagai direktur dan komisaris, dengan tidak ada individu yang menjadi pemegang saham di lebih dari satu perusahaan, sehingga mengaburkan siapa yang sebenarnya menjadi ujung tombak proyek yang mereka dirikan bersama.

Informasi tentang proyek ini pertama kali muncul pada 2013 ketika perwakilan perusahaan dilaporkan telah mengunjungi desa-desa setempat untuk membagikan uang tunai dan bicara tentang proyek perkebunan (pada saat itu ketujuh konsesi telah mendapatkan izin lingkungan dan IUP dan diberikan pelepasan hutan). Menurut sejumlah laporan, para investor ini mengidentifikasi diri mereka sebagai Menara Group, yang meskipun bukan badan usaha resmi, telah dikaitkan (melalui artikel media dan penelitian ke perusahaan terkait) dengan pengusaha Chairul Anhar dan berbagai rekanan, termasuk anggota DPR Mohamad Hekal.

Enam dari perusahaan-perusahaan ini dijual setelah mereka memperoleh IUP dan SK pelepasan kawasan hutan untuk konsesi mereka. Dua (PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri) dibeli oleh Tadmax Resources Bhd (sekarang berganti nama menjadi Maxim Global Bhd), sebuah perusahaan properti Malaysia dengan latar belakang industri penebangan kayu; dan empat lainnya (PT Energi Samudera Kencana (PT ESK), PT Graha Kencana Mulia (PT GKM), PT Kartika Cipta Pratama (PT KCP) dan PT MJR) dijual kepada perusahaan asing yang terdaftar di Uni Emirat Arab, yang menempati peringkat sepuluh besar negara surga pajak. Komposisi dewan dan berkas bukti lain menunjukkan bahwa perusahaan UEA ini (Green Resources Ltd, Crescent Investments Ltd, Prestige Holdings Ltd, dan Malindo Investments Ltd) terhubung dengan konglomerat Yaman, Hayel Saeed Anam Group (HSA Group), dan anak perusahaan pemrosesan dan perdagangan minyak sawit Malaysia, Pacific Inter- Link.

Terlepas dari semua bukti yang bertentangan, Pacific Inter-Link mengklaim bahwa baik mereka maupun Grup HSA tidak pernah memiliki salah satu dari empat perusahaan konsesi yang dijual ke perusahaan UEA. Pertanyaan apakah Grup HSA yang mengendalikan perusahaan-perusahaan ini sedang diperiksa oleh Panel Pengaduan (complaints panel) RSPO. Pada saat penulisan laporan ini, Grup HSA belum memberikan bukti yang dapat menunjukkan bahwa mereka tidak terafiliasi.

Kelapa sawit telah ditanam di tiga konsesi perusahaan yang terkait dengan HSA Group: PT MJR, PT KCP dan PT GKM. Perusahaan konsesi keempat, PT ESK, dicabut IUP-nya pada tahun 2018 dengan alasan tidak aktif dan izin lokasi yang mencakup area yang sama telah dikeluarkan untuk perusahaan baru (lihat Studi Kasus 3). 

 

Tidak ada analisis mengenai dampak lingkungan?

Izin lingkungan dikeluarkan untuk setidaknya empat dari tujuh perusahaan Menara Group pada 8 September 2010.313 Berdasarkan undang-undang yang berlaku, izin lingkungan seharusnya diterbitkan jika komisi penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) telah menyetujui Amdal, pada kasus ini tidak demikian. Izin lingkungan PT MJR dan PT KCP menyatakan bahwa komisi penilaian telah bertemu pada 1 dan 3 September 2010. Namun, meskipun berulang kali diminta oleh LSM untuk melihat salinan Amdal yang seharusnya dievaluasi, tidak ada badan pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua atau Pemerintah Indonesia yang dapat menunjukkan salinan dokumen studi Amdal yang disetujui; memang ada beberapa kantor yang menyatakan tidak memiliki dokumen tersebut. Ketika Greenpeace Indonesia baru-baru ini mengajukan permintaan informasi kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Papua, tanggapan resminya adalah bahwa Amdal untuk perusahaan Menara Group belum diproses oleh Komisi Evaluasi Amdal Provinsi Papua, satu-satunya badan yang berwenang untuk melakukannya.

Satu-satunya bukti akan keberadaan dokumen Amdal berupa salinan beberapa halaman pertama Amdal PT MJR dan PT KCP. Dokumen tersebut merupakan bagian dari dokumentasi yang diserahkan perusahaan kepada lembaga sertifikasi legalitas kayu yang mengaudit perusahaan tersebut, dan oleh lembaga sertifikasi dibagikan ke peneliti. Bukannya membuktikan bahwa Amdal dinilai secara sah, halaman-halaman awal ini justru memperkuat kecurigaan. Kata pengantar Amdal PT KCP yang ditulis direktur perusahaan tertanggal Oktober 2010, yaitu satu bulan setelah izin lingkungan diterbitkan. Pada bagian kata pengantar meminta pemangku kepentingan untuk menyarankan cara-cara meningkatkan studi, memperjelas bahwa Amdal belum diselesaikan atau disetujui pada tahap itu.

Satu-satunya penjelasan yang masuk akal bagi tidak konsistennya kronologi ini adalah bahwa izin lingkungan dikeluarkan secara ilegal, tanpa mengikuti prosedur evaluasi Amdal yang tepat.

Terdapat alasan tambahan mengapa tanggal terbitnya izin lingkungan mengindikasikan bahwa proses tersebut mungkin tidak benar. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Bupati Boven Digoel pada 31 Agustus 2010. Yusak Yaluwo, calon incumbent ketika itu, memperoleh suara terbanyak dalam pilkada. Namun, saat itu dia berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi menunggu persidangan atas tuduhan korupsi kasus lain. Pada hari ia menandatangani izin lingkungan, KPU sedang rapat untuk memutuskan apakah pemilihannya sebagai bupati dapat dianggap sah atau tidak. Lebih lanjut, berdasarkan dokumen persidangan atas hasil pemilu, Menteri Dalam Negeri telah menunjuk Sekda menjadi pelaksana tugas bupati sementara situasi mencekam ini sedang diselesaikan, artinya Yusak Yaluwo tidak berwenang menandatangani dokumen pada hari itu. Selain itu, Amdal setiap perusahaan biasanya harus dievaluasi secara terpisah, sehingga fakta bahwa setidaknya empat izin lingkungan ditandatangani pada hari yang sama mengindikasikan bahwa proses ini mungkin berlangsung tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang.

Apabila keempat perusahaan tersebut benar-benar melakukan Amdal yang dilaksanakan dengan cara yang benar, maka mereka harus mematuhi rencana pemantauan dan pengelolaan yang dinilai bersamaan dengan Amdal yang dimaksudkan untuk memberikan serangkaian standar yang harus dipatuhi perusahaan selama masa beroperasinya perkebunan. Perusahaan seharusnya melapor secara berkala kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi, yang akan memantau kinerjanya dan memastikan bahwa mereka memenuhi peraturan lingkungan. Salah satu kewajiban standar adalah untuk mempertahankan zona penyangga hutan di sepanjang sempadan sungai, untuk mencegah erosi dan penurunan kualitas air. Citra udara dan satelit dengan jelas menunjukkan bahwa pada tahun-tahun pertama PT MJR beroperasi, perusahaan tidak memperhatikan kondisi ini, melainkan menebang habis hingga ke tepian sungai. Penduduk di Desa Anggai melaporkan bahwa sungai-sungai dulu airnya jernih dan merupakan sumber air utama desa dan tempat penangkapan ikan utama, sekarang menjadi dangkal dan berlumpur. Selain pelanggaran kewajiban Amdal, hal ini menunjukkan kemungkinan pelanggaran hukum lingkungan termasuk pencegahan kekeruhan akibat limpasan perkebunan.

Alasan lain pentingnya perusahaan untuk mengikuti proses Amdal dengan baik adalah karena proses ini mensyaratkan konsultasi formal dengan masyarakat adat setempat: Amdal harus mencakup analisis dampak sosial, memerlukan penelitian dan diskusi dengan masyarakat. Berbagai laporan dari desa menunjukkan bahwa pertama kali orang dengar mengenai perusahaan Menara Group adalah pada tahun 2013, dua setengah tahun setelah Amdal mereka seharusnya selesai.

 

Izin lingkungan palsu untuk pabrik kayu? 

Situasi serupa yang melibatkan izin lingkungan yang diduga dikeluarkan tanpa proses Amdal sebagai syarat muncul di sebuah kilang kayu dan pabrik kayu lapis yang didirikan untuk memproses kayu gelondongan yang ditebang dari konsesi Tanah Merah. PT Tulen Jayamas Timber Industries merupakan perusahaan joint venture (perusahaan gabungan) antara perusahaan yang berbasis di negara surga pajak di Uni Emirat Arab yang juga adalah pemilik PT KCP dan pemilik lain adalah raksasa perusahaan kayu berbasis di malaysia, Shin Yang. Shin Yang adalah salah satu dari enam perusahaan raksasa asal Sarawak Malaysia yang membangun kekayaan menggunakan izin pembalakan hutan luas yang dikeluarkan oleh mantan Ketua Menteri Sarawak Abdul Taib Mahmud. Pabrik yang berada di dalam wilayah konsesi perkebunan PT KCP tersebut telah mendapatkan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dari KLHK tahun 2015, dan sudah mulai mengolah kayu bulat sekitar tahun 2019. Namun, pada 5 November 2019, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk Boven Digoel, Djukmarian, mengeluarkan surat perintah penghentian operasi, dan menuduh izin lingkungan yang dikeluarkan untuk pabrik pada 18 September 2014 telah dipalsukan.

Menyikapi perkembangan ini, lembaga sertifikasi PT Borneo Wanajaya Indonesia membekukan sertifikat legalitas kayu PT Tulen Jayamas pada 17 April 2020, dan tiga bulan kemudian mencabut sertifikat tersebut. Akibatnya, kayu gergajian dan kayu lapis yang diproduksi pabrik pada 2019 dan 2020 bisa dianggap ilegal. Namun, KLHK tampaknya belum mencabut IUIPHHK PT Tulen Jayamas tersebut. Tidak ada berita tentang penyelidikan lebih lanjut atas dugaan penipuan atau hukuman yang akan dijatuhkan, tetapi pemerintah daerah telah mengkonfirmasi bahwa PT Tulen Jayamas saat ini sedang mempersiapkan studi Amdal untuk mendapatkan izin lingkungan baru, yang memungkinkannya untuk merehabilitasi status hukumnya. 

 

Para pejabat menyatakan izin usaha dipalsukan 

Para pejabat di Badan Penanaman Modal Provinsi Papua, yang bertanggung jawab menerbitkan IUP kepada perusahaan Menara Group, mengatakan bahwa mereka yakin adanya tanda tangan palsu dalam izin tersebut. Dalam rapat pembahasan masalah perizinan empat eks perusahaan Menara yang kemudian diakuisisi oleh perusahaan dalam HSA Group (PT ESK, PT GKM, PT KCP, dan PT MJR) yang bertempat di kantor pusat Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia di Jakarta pada tanggal 9 Mei 2019, Jamal Tawarutubun dari instansi tersebut menyatakan bahwa IUP ketujuh perusahaan eks Menara Group yang diterbitkan pada bulan Januari dan Februari 2011 telah dibubuhi stempel Badan Penanaman Modal Provinsi Papua dan tandatangan Purnama sebagai kepala badan, tidak dikeluarkan oleh kantornya, dan dengan demikian telah dipalsukan. Jhoni Way, pengganti Purnama sebagai Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi Papua, kabarnya berspekulasi bahwa seseorang dalam badan tersebut mungkin terlibat dalam pemalsuan izin. Pemalsuan semacam itu adalah kejahatan yang dapat dihukum hingga enam tahun penjara, sementara siapa pun yang dengan sengaja menggunakan dokumen yang dipalsukan tersebut juga berpotensi dikenakan hukuman yang sama. 

Sebagai pengakuan nyata atas tuduhan Jamal, kemudian dilaporkan tercapainya sebuah kompromi di mana perusahaan yang telah mengembangkan perkebunan akan diizinkan untuk terus beroperasi tetapi akan diminta untuk memulai kembali seluruh proses perizinan dari awal. Dugaan pemalsuan tidak akan diselidiki lebih lanjut. Ketika Greenpeace Indonesia mencoba mendapatkan informasi terbaru tentang apakah kompromi ini dilaksanakan, Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua menolak menjawab, mengklaim bahwa Pemerintah telah memerintahkan agar informasi tentang izin kelapa sawit dirahasiakan. 

Namun, Dinas Penanaman Modal Boven Digoel lebih terbuka, dan memberikan salinan izin lokasi baru yang telah dikeluarkannya kepada PT MJR pada tahun 2019 dan IUP baru yang diterbitkan pada tahun 2020, yang terakhir ditandatangani oleh Jhoni Way. Hal ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Hanya mengeluarkan izin pengganti berfungsi untuk menutupi dugaan pemalsuan IUP asli: penyelidikan harus dilakukan untuk mengidentifikasi siapa yang terlibat dalam dugaan pemalsuan dan untuk mengevaluasi kerugian sosial dan lingkungan yang mungkin diakibatkannya, dan dikenakannya hukuman yang sepadan. Selain menghindari kemungkinan konsekuensi dari penyelidikan tersebut, perusahaan tidak diminta untuk mengajukan kembali semua izin 'dari awal', seperti yang disyaratkan. Secara khusus, tidak diharuskan untuk menyerahkan studi Amdal baru untuk penilaian; Namun, izin lingkungan tahun 2010 tampaknya diterima karena memenuhi persyaratan untuk penerbitan IUP baru, padahal seharusnya Badan Penanaman Modal Provinsi Papua mengetahui masalah izin tersebut, sebagaimana dirinci di atas. Izin pengganti tidak hanya mencakup areal yang sudah ditanami, tetapi seluruh areal seluas 39.505 ha, yang sebagian besar masih merupakan hutan primer, menyiratkan tujuan dari perjanjian tersebut tidak hanya untuk melindungi para pekerja yang ada di perkebunan, tetapi untuk memfasilitasi perluasan lebih lanjut.

Seluruh proses yang bertujuan untuk mengembalikan legitimasi operasi PT MJR ini telah berlangsung sejak Moratorium Kelapa Sawit diberlakukan. Alih-alih menerapkan tinjauan izin komprehensif yang diamanatkan oleh moratorium, yang berarti mengevaluasi keseluruhan legalitas operasi perkebunan PT MJR, para pejabat memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri dengan solusi improvisasi. Solusi ini dirancang hanya untuk menyelesaikan salah satu dari rangkaian masalah, dari IUP yang diduga dipalsukan. Pendekatan ini tidak memperhitungkan fakta bahwa keputusan selanjutnya diambil atas dasar PT MJR dan perusahaan lain memiliki IUP yang sah, dan keputusan ini terus mempengaruhi ketersediaan lahan untuk izin baru. Ini termasuk pengecualian konsesi dari Moratorium Hutan pada 2011, alokasi areal mereka untuk perkebunan dalam rencana tata ruang kabupaten dan provinsi sejak tahun 2011 dan pemberian keputusan pelepasan kawasan hutan pada tahun 2011-2013. Peninjauan yang komprehensif dapat meminta agar keputusan tersebut dievaluasi ulang sebelum izin baru dikeluarkan.

Data yang diberikan oleh Dinas Penanaman Modal Boven Digoel tidak termasuk izin lokasi baru atau IUP untuk PT GKM atau PT KCP, perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan HSA Group yang juga Eks Menara group lainya yang telah menanam kelapa sawit. Greenpeace tidak dapat memastikan apakah perusahaan-perusahaan tersebut telah atau akan ditawari prosedur yang sama. 

 

Apakah pelepasan kawasan hutan memenuhi syarat? 

Peraturan menteri mengatur persyaratan yang harus dipenuhi untuk menerbitkan keputusan pelepasan kawasan hutan. Dalam peraturan menteri yang berlaku selama periode (2011-2013) ketika kawasan hutan dilepaskan kepada tujuh perusahaan Menara Group, tidak ada perusahaan atau grup perusahaan yang diizinkan untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan lebih dari 200.000 ha di Tanah Papua. Meskipun ketujuh perusahaannya memiliki pemegang saham yang berbeda, Menara Group menampilkan dirinya kepada pejabat termasuk bupati sebagai satu grup, dan mengajukan izin untuk semua konsesi secara bersama-sama, dan menunjukkan pengelolaan bersama. Selain itu, pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan yang dianggap sebagai bagian dari satu grup harus dilakukan secara bertahap, dengan setiap tahap dilepaskan hanya setelah pelepasan sebelumnya dievaluasi untuk memastikan bahwa perusahaan sedang mengembangkan lahan (lihat teks dalam box, Bagian 2). Karena tidak ada pengembangan perkebunan di kawasan hutan yang dilepaskan selama periode ini, jelas bahwa persyaratan ini juga diabaikan.

Pada empat konsesi angka potensi kayu tercatat dalam SK pelepasan kawasan hutan (milik PT MJR, PT KCP, PT GKM dan PT Usaha Nabati Terpadu (PT UNT)). Di dalam keputusan pelepasan pada keempat lokasi tersebut perkiraan kerapatan tegakan pohon kurang dari 7 m3 per hektar--untuk pohon dengan diameter > 30 cm. Angka yang sangat rendah dan sebagian besar konsesi masuk kelompok hutan rawang, artinya kayu tersebut tidak bernilai ekonomis. Faktanya, pada peta tutupan lahan Indonesia, kawasan tersebut dikategorikan sebagai hutan primer dan kunjungan ke lokasi tersebut menunjukkan bahwa kawasan tersebut terdiri dari hutan lebat penuh dengan pepohonan besar. Pada November 2011, sebelum dua perusahaan Menara Group lainnya (PT Trimegah Karya Utama (PT TKU) dan PT Manunggal Sukses Mandiri (PT MSM)) dijual ke Tadmax, Tadmax melakukan studi337 yang menghitung bahwa setiap hektar mengandung 271 m3 kayu, hampir 40 kali lipat dari angka yang disitir dalam SK pelepasan kawasan hutan untuk konsesi lain, dan lebih sejalan dengan kepadatan kayu khas dari hutan hujan lebat yang diketahui ada di daerah tersebut. Masih misteri mengapa dokumen pelepasan kawasan hutan berisi angka-angka yang jelas sengaja diatur seolah rendah. Tampaknya dokumen tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan kawasan tersebut sebagai kawasan yang kurang penting secara ekologis atau memiliki nilai ekonomis lebih rendah daripada yang sebenarnya. Hal ini bisa menjadi sinyal bagi KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi atas penerbitan SK pelepasan kawasan hutan dan dokumen pendukungnya, mengingat besarnya potensi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. 

 

Tidak ada hak guna usaha (HGU)

Tidak satupun dari bekas konsesi Menara Group diyakini pernah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU). Meskipun Pemerintah Indonesia telah berulang kali menolak memberikan data HGU yang komprehensif. Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Papua mengonfirmasi kepada Greenpeace Indonesia pada Juli 2020 bahwa tidak ada satupun dari bekas perusahaan Menara Group yang masuk dalam daftar perusahaan pemegang HGU. Pejabat perusahaan dari PT MJR juga membahas tidak adanya HGU pada rapat yang telah disebutkan sebelumnya di kantor pusat Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia pada Mei 2019.

Selain IUP, perusahaan harus memiliki HGU untuk mengolah lahan. Meskipun perusahaan perkebunan terkadang mengklaim bahwa mereka beroperasi secara legal tanpa memiliki HGU. Hal ini diklarifikasi oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015, yang berpendapat bahwa sebuah perusahaan perkebunan harus memegang HGU sebelum dapat beroperasi secara legal.

 

Musyawarah Tanpa Mufakat dengan Masyarakat Adat?

Menurut UU Otonomi Khusus Papua tahun 2001 dan UU Perkebunan tahun 2004 dan 2014, tanah ulayat hanya dapat diserahkan kepada perusahaan perkebunan melalui musyawarah. Semua indikasi menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi di bekas konsesi Menara Group manapun. Sebuah catatan dari seorang pendeta setempat pada tahun 2013 menyebutkan bahwa ketika perusahaan pertama kali mengunjungi masyarakat di daerah tersebut pada bulan April tahun itu, masyarakat setempat tidak memahami maksud di balik apa yang disebut 'uang permisi' yang dilaporkan dibagikan oleh Menara Group ke setidaknya empat desa dalam kunjungan tersebut. Faktanya, pembayaran semacam itu biasanya digunakan oleh perusahaan untuk mendukung klaim mereka selanjutnya bahwa masyarakat adat telah menyerahkan tanah mereka dan menerima kompensasi. Laporan lain secara umum konsisten, dan tidak ada bukti bahwa proses kolektif terjadi dengan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari semua anggota masyarakat. Beberapa laporan termasuk klaim kekerasan dari pihak polisi dan perwira militer yang hadir dalam pertemuan-pertemuan di mana Menara Group berusaha untuk mendapatkan izin pembangunan dari masyarakat adat.

Kegagalan untuk mendapatkan mufakat dari semua anggota masyarakat yang terkena dampak telah memicu perselisihan antar suku. Para antropolog yang mengunjungi wilayah penelitian yang ditugaskan oleh Greenpeace Indonesia pada tahun 2019 menemukan bahwa masih ada konflik yang sedang berlangsung antara marga yang mendukung perusahaan perkebunan dan pihak lain yang menentang semua perkebunan. Organisasi yang didirikan untuk mewakili kepentingan Pribumi mengambil posisi berbeda dalam konflik ini. Meski kepemimpinan Lembaga Masyarakat Adat Boven Digoel terkadang memainkan peran utama dalam meyakinkan masyarakat lokal untuk mendukung proyek perkebunan, Lembaga Masyarakat Adat Suku Awuyu telah mengambil sikap tegas terhadap perkebunan. Dalam pernyataan yang dirilis pada 27 Agustus 2020 yang menyerukan pencabutan izin perusahaan, Lembaga Masyarakat Adat Suku Awuyu menjelaskan beberapa alasannya:

‘Kami merasakan adanya tekanan, cara-cara paksa, tidak jujur dan melanggar aturan hukum adat kami dan hukum negara, yang dilakukan pihak tertentu yang punya kuasa bersama operator perusahaan untuk mengambil dan mengalihkan hak kami atas tanah adat, yang terjadi di hadapan aparat penegak hukum. Situasi tersebut telah membuat keresahan, ketidakharmonisan dan ketegangan antara masyarakat dengan perusahaan, antara masyarakat dengan kelompok masyarakat yang mendapat fasilitas perusahaan, antara masyarakat dengan elite penguasa tertentu, serta dengan pemerintah. Kami ingin tekankan perubahan situasi menjadi tidak ada rasa aman dan tidak ada rasa nyaman ini terjadi setelah adanya perusahaan.’

Sekitar 50 orang Awuyu dikabarkan berdemonstrasi keesokan harinya di luar gedung DPRD Boven Digoel di Tanah Merah. Pimpinan DPRD dan perwakilan bupati berjanji akan menindaklanjuti tuntutan mereka.

 

Pencurian identitas, pemalsuan arsip perusahaan, dan pelanggaran hukum penanaman modal? 

Terdapat bukti dugaan tindak pidana pencurian identitas dan pemalsuan data registrasi perusahaan yang berkaitan dengan perusahaan Menara Group pada saat mereka memperoleh izin. Masing-masing dari ketujuh perusahaan tersebut didirikan dengan dua pemegang saham, yang juga menjabat sebagai direktur dan komisaris, dengan tidak ada individu yang menjabat sebagai pemegang saham di lebih dari satu perusahaan. Majalah Tempo menelusuri beberapa pemegang saham awal ini, dan menemukan bahwa mereka tidak mengetahui pernah dikaitkan dengan perusahaan tersebut -- membuktikan bahwa identitas mereka telah digunakan tanpa persetujuan mereka. Pada umumnya mereka adalah masyarakat miskin yang tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih, supir atau ibu rumah tangga. Menggunakan data dari dokumen identitas tanpa persetujuan untuk membuat catatan perusahaan yang dipalsukan dapat dituntut sebagai tindak pidana berdasarkan pasal 263 KUHP. Namun, identitas pemilik manfaat atau pemilik perusahaan saat ini, yang diduga bertanggung jawab atas penipuan ini, masih menjadi misteri. The Gecko Project telah mewawancarai Yusak Yaluwo, bupati yang memberikan izin lokasi kepada perusahaan-perusahaan tersebut, yang mengatakan bahwa sejauh ingatannya, pada tahun 2007 Menara Group belum terlibat dan telah berurusan dengan Genting, sebuah perusahaan Malaysia yang diketahui tertarik untuk mendapatkan izin di daerah tersebut saat itu. Namun Genting membantah telah mendapatkan izin lokasi untuk salah satu konsesi proyek Tanah Merah.

Kepemilikan semua perusahaan berubah pada hari yang sama di bulan Januari 2010, menjadi satu set pemegang saham baru (masih dua orang tiap perusahaan) yang tetap terdaftar sebagai pemilik perusahaan setelah mereka memperoleh IUP dan pelepasan hutan. Beberapa adalah individu yang dilaporkan Tempo dan Gecko Project terkait dengan Menara Group, sementara yang lain memiliki koneksi yang lebih jauh, termasuk seseorang yang dikabarkan bekerja sebagai supir eksekutif Menara Group dan istrinya. Menurut Tempo, sumber di dalam Menara Group membenarkan kepada wartawannya dan kepada Gecko Project bahwa pemegang sahamnya adalah nominee, orang-orang yang namanya digunakan untuk mengaburkan identitas pemilik manfaat (beneficial ownership)352 sebenarnya. Penggunaan nominee dengan cara ini merupakan praktik yang umum di Indonesia, meskipun secara tegas dilarang oleh UU Penanaman Modal 2007.

Enam dari tujuh perusahaan akhirnya dijual kepada pemilik baru selama tahun 2012, tidak lama setelah menerima pelepasan kawasan hutan. Para pembelinya adalah Tadmax Resources Bhd dan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di UEA yang diyakini berafiliasi dengan HSA Group. Sebagai hasil dari pembelian perusahaan setelah diperolehnya sebagian besar izin konsesi, pemilik baru akan berada dalam posisi untuk mengklaim bahwa mereka tidak mengetahui tindakan ilegal atau melanggar hukum yang mungkin terjadi selama proses perolehan izin. 

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/