Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #3

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #3, selengkapnya bisa dibaca di halaman 108-111:

Pada tahun 2017, tumpang tindih izin seperti yang terjadi dua tahun sebelumnya dengan tiga konsesi Digoel Agri Group muncul pada konsesi lain yang telah menjadi bagian dari proyek Tanah Merah. Pada 7 Juli tahun itu, suksesor Yesaya Merasi sebagai Bupati Boven Digoel, Benediktus Tambanop, mengeluarkan keputusan yang mencabut IUP PT ESK, konsesi Menara Group paling utara (ketika itu belum dikembangkan dan dianggap terlantar). Pada hari yang sama Benediktus menerbitkan izin lokasi untuk tanah yang sama kepada perusahaan baru, PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Seperti pendahulunya (lihat Studi Kasus 2) dia tidak memiliki kuasa untuk mencabut IUP, karena diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua. Namun demikian, pemerintah provinsi mengesahkan izin lokasi baru setahun kemudian, pada 27 Agustus 2018, dengan sendirinya mencabut IUP PT ESK, dan dua hari kemudian mengeluarkan persetujuan prinsip bagi PT IAL untuk terus mengajukan IUP. Pada 18 September 2018, komisi evaluasi AMDAL Provinsi menyetujui kerangka acuan untuk AMDAL PT IAL, sehingga studi AMDAL lengkap dapat disiapkan.

Persetujuan baru ini dikeluarkan tak lama sebelum Moratorium Kelapa Sawit diberlakukan pada 19 September 2018. Sementara proses perizinan PT IAL telah ditunda, terdapat bukti bahwa perusahaan telah secara agresif mendorong persetujuan lokal atas proyek perkebunannya di antara masyarakat adat Awuyu, melanggar prinsip padiatapa dan memicu konflik dalam masyarakat adat, yang sebagian pemimpinnya mendukung proyek tersebut.

Pada 2017, setelah mendapat izin lokasinya, PT IAL dikabarkan mulai melakukan pendekatan kepada masyarakat tentang rencananya. Menurut laporan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian dari Keuskupan Agung Merauke (SKP KAMe), pertemuan marga-marga pemegang hak ulayat pada pertengahan Oktober 2017 dipecah oleh sekelompok pendukung perusahaan yang mengancam akan membunuh siapa saja yang menentang rencana perusahaan.

Sejak saat itu, dilaporkan terjadi perpecahan tajam dalam komunitas Awuyu yang tinggal di dalam dan sekitar konsesi. Sejumlah pemimpin marga mendukung rencana perusahaan, tetapi anggota masyarakat lainnya sangat menentangnya, dan kabarnya konflik meluas ke anggota marga yang sama dalam beberapa kasus. Meskipun terdapat alasan yang sah untuk mendukung atau menentang perkebunan, terdapat indikasi bahwa tindakan perusahaan kemungkinan akan memperumit atau memperburuk konflik ini. Sejak 2018, perusahaan dilaporkan telah melakukan pembayaran bulanan antara Rp 800.000 dan 1.200.000 kepada beberapa kepala marga. Di sisi lain, penentang skema tampaknya telah menjadi sasaran intimidasi lebih lanjut. Greenpeace telah melihat salinan surat yang memanggil seorang pria masyarakat adat ke kantor polisi pada November 2019, sehubungan dengan pengaduan yang dibuat oleh direktur PT IAL Muhammad Abbas terkait hak atas tanah.

Karena izin lokasi PT IAL berakhir pada tahun 2020, maka perusahaan wajib mengajukan perpanjangan izin. Menurut kesaksian warga yang dikumpulkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 13 November 2020, sekitar 12 masyarakat adat penentang perkebunan mengunjungi kantor Dinas Penanaman Modal Boven Digoel untuk menyampaikan alasan penolakan mereka. Kepala dinas menjawab bahwa dia akan menunggu pendukung dan penentang perusahaan mencapai kesepakatan sebelum dia mengeluarkan perpanjangan izin. Pada hari yang sama, masyarakat adat yang mendukung perusahaan menggelar aksi unjuk rasa di kantor, mengancam akan membakarnya jika perpanjangan izin tidak dikeluarkan. Tiga hari kemudian, tiga penentang perkebunan itu dipanggil ke kantor polisi setempat, konon untuk tujuan mediasi. Namun, karena kehadiran sekali lagi dari kerumunan pendukung perusahaan yang marah (beberapa bersenjata dan/atau mabuk) dan petugas polisi mendorong resolusi cepat, orang-orang tersebut merasa bahwa mereka tidak punya pilihan selain menandatangani surat yang disodorkan dan menarik penentangan mereka.

Badan Penanaman Modal Boven Digoel melakukan hal yang benar dalam memberi tahu masyarakat adat setempat dan mencari pendapat mereka sebelum memperbarui izin - peraturan mengenai izin lokasi tahun 2015 mewajibkan hal ini, meskipun jarang terdengar bahwa hal itu diterapkan dalam praktik. Namun demikian, cerita ini menunjukkan pentingnya memperhatikan bagaimana persyaratan ini diterapkan - agar persetujuan menjadi berarti, pemerintah harus yakin bahwa permufakatan diperoleh tanpa paksaan atau manipulasi dan bahwa konflik diselesaikan bila diperlukan.

Greenpeace Indonesia belum bisa memastikan apakah izin lokasi tersebut diperpanjang atau tidak. Namun masyarakat yang menolak perkebunan dikabarkan melanjutkan protes mereka pada Januari 2021.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pada November atau Desember 2020 analisis foto citra satelit mengindikasikan telah terjadi pembukaan hutan seluas empat hektar di pinggir Sungai Digoel. Lokasi itu teridentifikasi sebagai konsesi PT IAL. Masyarakat adat setempat meyakini bahwa pembukaan tersebut untuk logpond PT IAL. PT IAL diduga belum mengantongi izin lingkungan, izin usaha perkebunan, atau izin pemanfaatan kayu. Apabila dugaan ini benar, patut diduga bahwa PT IAL telah melanggar berbagai aturan termasuk Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan.

PT Indo Asiana Lestari dimiliki oleh perusahaan Malaysia yang terdaftar di Sabah, Mandala Resources Sdn Bhd. Analisis dengan direksi dan alamat kantor PT IAL dan beberapa perusahaan dalam grup All Asia Agro mengindikasikan bahwa ada hubungan antara PT IAL dengan grup All Asia Agro. Hal ini mengindikasikan ada hubungan antara PT IAL dengan grup All Asia Agro, yang mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di Sabah dan tambang marmer di Sulawesi. Pemegang saham tunggal Mandala Resources Sdn Bhd tidak termasuk dalam dewan direksi All Asia Agro menurut situs web All Asia Agro, tetapi secara teori bisa menjadi nominee yang ditunjuk oleh pemilik manfaat untuk memegang saham atas nama mereka, sebuah praktik yang legal di Malaysia.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/