Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #8

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #8, selengkapnya bisa dibaca di halaman 128-133:


PT Tunas Agung Sejahtera (PT TAS) memegang konsesi perkebunan seluas 39.500 ha di bagian sangat terpencil di pantai selatan Provinsi Papua, di Kabupaten Mimika. Peta tutupan lahan nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa konsesi tersebut seluruhnya berhutan, termasuk kawasan hutan primer yang luas (ini bagian lain dari konsesi, jaraknya 200 km dari kota terdekat, namun dapat diakses melalui laut dan sungai, atau jalan logging lama masih ada pada bagian hutan sekunder). Sebagian besar konsesi digolongkan dalam peta tutupan lahan nasional sebagai hutan rawa dataran rendah yang berbatasan dengan kawasan hutan bakau. Hal ini dikonfirmasi oleh foto udara Greenpeace yang diambil pada tahun 2017 yang mengungkapkan keberadaan hutan hujan lebat dan lahan basah berhutan yang didominasi oleh pohon sagu. Tidak diragukan lagi ini adalah lanskap yang sangat kaya secara ekologis.

PT TAS mendapatkan izin lokasinya pada Juni 2013, meskipun sebagian besar konsesinya masuk dalam area Moratorium Hutan. Tabel korespondensi yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa lima bulan kemudian, pada November 2013, direktur perusahaan menulis surat kepada kementerian yang mengklaim bahwa, berdasarkan survei dan interpretasi citra satelit dari tahun 2012, semua hutan di konsesi adalah hutan sekunder. Kementerian menerima klaim ini, dan menghapus kawasan hutan yang dimasukkan sebelumnya dari peta Moratorium Hutan. Lahan gambut seluas 79 ha di dalam konsesi juga telah dihapus dari peta moratorium pada saat yang bersamaan, artinya konsesi tersebut sekarang seluruhnya berada di luar moratorium. Namun, tidak ada perubahan yang dilakukan pada peta tutupan lahan yang diperbarui setiap tahun oleh kementerian, yang terus menunjukkan kawasan hutan primer yang luas di konsesi tersebut setiap tahun sejak itu.

Pada 29 September 2014, konsesi PT TAS menjadi salah satu yang dilepaskan dari kawasan hutan oleh Menteri Zulkifli Hasan di hari terakhirnya sebagai menteri. Seperti kebanyakan konsesi lain yang menerima pelepasan kawasan hutan dari Zulkifli Hasan pada saat itu tidak memiliki izin lingkungan atau IUP. Artinya pelepasan tersebut melanggar peraturan kementerian. PT TAS saat itu akan mendapatkan dua izin penting ini masing-masing pada 30 Desember 2014 dan 10 September 2015.

PT TAS mengubah kepemilikan beberapa kali selama proses perizinan, menunjukkan bahwa perusahaan itu mungkin didirikan untuk tujuan spekulasi izin. Didirikan pada 2007, dan hingga 2013 dimiliki oleh perusahaan yang dimiliki oleh individu bernama Budi Yasa dan keluarganya. Kemudian pada Agustus 2013 saham mayoritas di PT TAS dialihkan ke perusahaan yang terdaftar di Kepulauan Virgin Inggris (British Virgin Island-BVI), Ichiko Eastspring Ltd. BVI merupakan salah satu yurisdiksi kerahasiaan (secrecy jurisdiction), sehingga tidak ada cara untuk mengetahui pemilik manfaat (beneficial ownership) dari perusahaan ini. Tetapi karena beberapa direktur dan komisaris baru diangkat saat itu, tampaknya pemilik baru yang tidak terkait dengan keluarga Yasa sedang bersiap untuk mengambil alih perusahaan, mungkin masih menunggu penyelesaian ketika persyaratan tertentu dipenuhi.

Pada 26 Juni 2016, rencana tampaknya berubah, karena direksi baru meninggalkan posisi sebagai dewan pengurus dan pemegang saham di PT TAS, mengembalikan ke perusahaan keluarga Yasa, PT Pusaka Agro Sejahtera. Pada hari yang sama PT Pusaka Agro Sejahtera juga kembali menguasai PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM), perusahaan perkebunan lain, dengan konsesi di Kabupaten Jayapura, yang sebelumnya dimiliki oleh keluarga Yasa sebelum dialihkan ke perusahaan holding di Kepulauan Virgin Inggris lainnya yang kepemilikan manfaatnya tidak dapat ditentukan, Farmiana Investment Ltd. Tampaknya jika penjualan bersyarat dari kedua perusahaan tersebut telah direncanakan, maka akan gagal.

Namun keluarga Yasa tetap memegang aset yang berharga, dan di awal tahun 2017 muncul pembeli baru. PT TAS dijual kepada PT Bumi Surya Kencana (PT BSK), terdapat tumpang tindih pengurus perusahaan (interlocking) dengan Salim Group, salah satu kerajaan bisnis terbesar di Indonesia. PT BSK diyakini sebagai 'perusahaan bayangan' (perusahaan yang kepemilikan manfaatnya disembunyikan melalui pemegang saham nominee atau perusahaan induk asing, sehingga tidak diakui sebagai bagian dari grup yang lebih luas). Pada tahun yang sama, PT PNM juga dijual ke perusahaan bayangan lain yang terkait dengan Salim Group. 

Dengan cara ini, Grup Salim tampaknya berhasil memperoleh, melalui PT TAS, sebuah konsesi termasuk 17.619 ha hutan primer yang seharusnya termasuk dalam Moratorium Hutan, dan yang pelepasan hutannya melanggar peraturan kementerian sendiri. Jika tuduhan korupsi akan dibuat di masa depan, Grup Salim dapat mengklaim tidak memiliki pengetahuan tentang transaksi apapun sebelum dugaan pembelian perusahaan tersebut.

Akuisisi PT TAS dan PT PNM tampaknya menjadi bagian dari proses yang lebih luas dimana Salim Group telah memperluas penguasaan tanahnya di Tanah Papua melalui pembelian perusahaan yang telah memiliki izin. Selain PT TAS dan PT PNM di Provinsi Papua, grup tersebut telah membeli empat perusahaan lagi dari terduga spekulan izin di Provinsi Papua Barat dalam satu dekade terakhir. Tiga di antaranya memiliki sejarah penyimpangan yang mirip dengan PT TAS, baik menerima pelepasan kawasan hutan yang melanggar peraturan kementerian atau telah menghilangkan lahan gambut dari Moratorium Hutan meskipun terlihat adanya gambut.

Lebih dari tiga tahun setelah IUP-nya diterbitkan, PT TAS memperoleh HGU pada 26 Juli 2018, terlepas dari fakta bahwa Moratorium Kelapa Sawit sudah mau ditandatangani Presiden. Moratorium mewajibkan peninjauan izin kelapa sawit yang ada (yang berpotensi menunjukkan bahwa tidak ada dasar yang valid bagi penerbitan HGU). Faktanya HGU telah dikeluarkan untuk perusahaan konsesi Salim Group lainnya di Provinsi Papua, PT PNM, pada 15 November 2018, setelah Moratorium Kelapa Sawit diberlakukan.

Apakah pemberian HGU kepada PT PNM melanggar ketentuan Moratorium Sawit? Berbeda dengan instruksi kepada kabupaten dan provinsi tentang penerbitan IUP dan KLHK tentang pelepasan kawasan hutan, moratorium tidak mengharuskan Badan Pertanahan Nasional untuk segera menghentikan penerbitan HGU. Namun, data HGU seharusnya dimasukkan dalam tinjauan izin, dan lembaga tersebut diinstruksikan untuk meneruskan data ini ke tim evaluasi lintas kementerian yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk dipertimbangkan bersama perizinan dan persetujuan lainnya. Baru setelah menerima umpan balik dari tim tersebut, Badan Pertanahan Nasional diinstruksikan untuk menghentikan proses penerbitan HGU jika proses perizinan yang merupakan prasyarat untuk HGU telah melanggar peraturan (termasuk masalah dengan izin sebelumnya, pelepasan kawasan hutan atau pembebasan tanah dari pemilik tanah ulayat). Berdasarkan umpan balik ini, badan tersebut juga diinstruksikan untuk memutuskan konsesi mana yang harus dinyatakan terlantar dan membatalkan HGU untuk konsesi tersebut jika sebelumnya merupakan bagian dari kawasan hutan. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika Badan Pertanahan Nasional menunggu hasil proses review izin sebagaimana mandat moratorium sawit sebelum menerbitkan sertifikat HGU baru. Terutama bagi perusahaan yang tampaknya sudah tidak aktif sejak mendapatkan IUP dan pelepasan kawasan hutan empat tahun sebelumnya.

Argumen serupa dapat dikemukakan dalam kasus PT TAS, padahal HGU dikeluarkan sesaat sebelum Moratorium Sawit diberlakukan. Peninjauan izin yang diamanatkan oleh moratorium kemungkinan akan menemukan penyimpangan dalam proses perizinan PT TAS (seperti pelanggaran peraturan pelepasan kawasan hutan yang dibahas di atas) atau menyimpulkan bahwa itu harus dianggap ditelantarkan, mengingat tidak ada aktivitas sejak diterimanya IUP tiga tahun sebelumnya. Sebaliknya, karena PT TAS memperoleh HGU tepat pada saat moratorium sedang difinalkan, maka ia telah mengkonsolidasikan haknya atas tanah, sehingga akan lebih rumit bagi pemerintah untuk mencabut izin perusahaan sebagai bagian dari peninjauan izin yang dimandatkan moratorium. Misalnya, peraturan yang ada tentang lahan terlantar membutuhkan waktu tiga tahun berlalu dari saat HGU dikeluarkan sebelum tindakan dapat diambil. Penerbitan HGU telah secara efektif melegitimasi keadaan ilegal dan hukum semu yang menjadi ciri tahap awal dalam proses perizinannya.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/