Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #2

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #2, selengkapnya bisa dibaca di halaman 103-107:

Pada tanggal 26 November 2015 Bupati Boven Digoel, Yesaya Merasi, memberikan izin lokasi kepada tiga perusahaan baru di atas tanah yang sebelumnya termasuk dalam konsesi yang milik tiga perusahaan Menara Group awal. Dua di antaranya (PT MSM dan PT TKU) telah dijual kepada Tadmax Resources Bhd sedangkan satunya (PT UNT) tetap di tangan Menara Group. Baik Tadmax maupun Menara Group tidak mengembangkan perkebunan di atas lahan tersebut, meskipun memiliki IUP selama lebih dari empat tahun. Bagi perusahaan baru yang mengambil alih lahan yang sama, proses perizinan terbukti jauh lebih mudah karena beberapa kendala birokrasi utama telah diatasi oleh para pendahulu mereka: tanah telah dilepaskan dari kawasan hutan, dan dimasukkan dalam RTRWP sebagai lahan yang diperuntukkan untuk perkebunan. 

Perusahaan baru ini adalah bagian dari grup yang menyebut dirinya sebagai Digoel Agri Group. Pada saat izin lokasinya dikeluarkan, ketiga perusahaan (PT PBDS, PT Perkebunan Bovendigoel Abadi (PT PBDA) dan PT Bovendigoel Budidaya Sentosa (PT BDBS)) dimiliki oleh keluarga Vence Rumangkang (yang meninggal dunia pada tahun 2020), salah satu pendiri Partai Demokrat dan seorang yang secara individu terkoneksi dengan elit politik. Merasi mengeluarkan izin lokasi kurang dari tiga minggu sebelum pemilu 2015 saat ia sedang kampanye untuk masa jabatan kedua sebagai bupati. Berdasarkan undang-undang tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah dan pemerintah daerah, Merasi diwajibkan untuk 'cuti kampanye' dan oleh karenanya tidak boleh mengeluarkan izin selama masa kampanye. Waktunya menunjukkan kemungkinan adanya tindak korupsi, karena politisi lokal dilaporkan kerap mendanai kampanye pemilihan mereka dengan menjual izin kepada perusahaan industri sumber daya alam.

Izin lokasi baru mencakup lahan yang sama dengan IUP yang saat itu masih berlaku untuk PT MSM, PT TKU dan PT UNT. Kurang dari dua bulan sebelumnya, pada 1 Oktober 2015, Merasi telah mengeluarkan SK pencabutan IUP tersebut. Namun keputusan tersebut dianggap tidak berlaku karena IUP 2011 dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Bupati, sebagai kepala otoritas yang berbeda (pemkab), tidak punya kewenangan untuk mencabutnya. Karena hal-hal terkait dengan ketersediaan tanah yang mungkin menghalangi penerbitan izin lokasi harus dibahas dalam pertimbangan teknis yang disajikan sebelum penerbitan izin usaha. Keberadaan IUP yang masih berlaku seharusnya ditandai sebagai masalah dan izin lokasi seharusnya tidak dikeluarkan. Selain itu, peraturan baru yang ditandatangani pada April 2015 yang mengatur proses penerbitan izin lokasi mencegah penerbitan izin lokasi baru kecuali persetujuan dari pemegang izin usaha yang ada telah diperoleh.

Namun, dengan tidak benar mengatakan bahwa IUP telah dicabut melalui surat keputusannya, Yesaya Merasi dapat mengklaim bahwa dirinya memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin lokasi baru tanpa persetujuan dari pemegang IUP yang ada. Meskipun ini merupakan tata kelola yang buruk, penerbitan izin baru mungkin tidak sepenuhnya ilegal karena peraturan tentang izin lokasi (yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang) dan yang terkait IUP (yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian) tidak sinkron, karenanya tidak menetapkan apa yang harus dilakukan dalam kasus seperti itu. Hal ini memungkinkan munculnya situasi hukum semu di mana dua perusahaan yang tidak berhubungan memiliki izin yang tumpang tindih di lahan yang sama.

Akhirnya, pada 2 November 2017, Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua mencabut ketiga IUP lama tersebut dan pada hari yang sama mengeluarkan persetujuan prinsip bagi perusahaan baru yang mengajukan IUP. Tindakan ini dapat dilihat sebagai pengakuan tersirat bahwa keputusan awal Yesaya Merasi yang mencabut IUP tidak berlaku, sementara secara retrospektif memvalidasi pencabutan tersebut dan mengatur perusahaan baru pada jalur untuk mendapatkan IUP yang sah setelah melalui proses Amdal.

Salah satu implikasi dari izin tumpang tindih ini adalah perusahaan baru berhasil menghindari moratorium izin baru yang mencakup hutan primer dan lahan gambut. Konsesi tersebut tidak termasuk dalam Moratorium Hutan karena Menara Group memegang IUP yang ada pada saat moratorium diberlakukan pada tahun 2011. Karena konsesi sebagian besar terdiri dari hutan primer, dengan area lahan gambut di sepanjang lembah sungai-sungai utama, lahan tersebut tertutup seharusnya dikembalikan ke moratorium jika pernah dicabut. Namun, karena izin baru atas lahan yang sama dikeluarkan sebelum yang lama dicabut, hal ini tidak terjadi.

Greenpeace Indonesia telah menulis surat kepada beberapa instansi di Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua untuk meminta informasi tentang status izin perusahaan baru saat ini. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Provinsi menjawab dengan mengatakan bahwa Amdal ketiga perusahaan telah dievaluasi, dan telah mengkomunikasikan hasilnya kepada bupati, yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lingkungan.

Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua yang menerbitkan IUP menolak memberikan data. Namun Dinas Penanaman Modal Kabupaten Boven Digoel memang memberikan salinan beberapa dokumen perizinan yang diterbitkan di tingkat provinsi. IUP PT PBDS telah ditandatangani pada 13 September 2018, satu minggu sebelum Moratorium Sawit diberlakukan. PT BDBS diyakini juga memiliki IUP. Sebaliknya, surat tertanggal 19 Desember 2018 mencabut izin prinsip PT PBDA yang mengutip moratorium baru, seolah menandakan proses perizinan tidak dilanjutkan. Perkembangan ini tampaknya belum dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat adat di daerah tersebut, yang dilaporkan tidak paham izin apa yang saat ini dimiliki oleh tiga perusahaan Digoel Agri Group.

Antara Februari 2017 dan Agustus 2018, mayoritas saham di ketiga perusahaan dialihkan ke warga negara Selandia Baru, Neville Christopher Mahon. Neville Mahon memiliki sejarah proyek pengembangan properti di Selandia Baru dan Fiji, tetapi Greenpeace tidak menemukan bukti keterlibatannya sebelumnya di sektor perkebunan. Anggota keluarga Vence Rumangkang memiliki sebagian besar sisa saham di tiga perusahaan tersebut.

Antara bulan Juli dan September 2019, jalan baru menuju konsesi PT PBDS dan PT BDBS dibangun dan area hutan seluas sekitar 100 ha dibuka, dibagi di antara kedua konsesi. Menurut laporan tahun 2020 yang mengutip anggota masyarakat setempat, ada kebingungan dan sedikit pemahaman mengenai kegiatan perusahaan; area yang dibuka pada tahun 2019 belum ditanami kelapa sawit dan Grup Digoel Agri tampaknya telah meninggalkannya sejak November 2019. Akan tetapi, citra satelit menunjukkan bahwa deforestasi kembali terjadi menjelang akhir 2020 dan menjadi semakin cepat pada awal 2021. Digoel Agri Group menulis kepada Greenpeace sebelum publikasi laporan ini 'kami sekarang sedang mempersiapkan untuk segera meluncurkan Kebijakan Keberlanjutan/Sustainability Policy berdasarkan visi NDPE' dan Kebijakan Keberlanjutan/Sustainability Policy perusahaan tersebut memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat yang terkena dampak.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/