Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #9

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #9, selengkapnya bisa dibaca di halaman 134-137:

Perubahan terbesar peta Moratorium Hutan di Provinsi Papua dilakukan bukan untuk mengakomodasi perkebunan kelapa sawit, melainkan perkebunan HTI, PT Merauke Rayon Jaya (PT MRJ). Kasusnya juga berbeda dengan studi kasus lain dalam laporan ini karena perubahan tersebut dilakukan, bukan sebagai tanggapan atas permintaan perusahaan, tetapi setelah KLHK kalah dalam pengadilan yang ajukan oleh perusahaan. Namun, ini relevan dengan laporan ini karena menggambarkan dengan jelas bagaimana kegagalan jangka panjang pemerintah untuk menghasilkan sistem regulasi hutan yang jelas dan tidak ambigu memungkinkan proyek-proyek cacat yang dipicu bertahun-tahun lalu terus menjadi ancaman. Selain itu penting menjadi perhatian akan banyaknya keberadaan hutan primer yang berisiko rusak dalam konsesi ini, serta skala ancaman terhadap hak ulayat, budaya, dan mata pencaharian masyarakat adat.

PT MRJ telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi (IUPHHK-HT) pada 5 Januari 1998–pada bulan-bulan terakhir pemerintahan Soeharto–untuk menanami hutan tanaman industri di 206.800 ha hutan primer yang sebagian besar di Kabupaten Merauke. Perusahaan tersebut dimiliki oleh Texmaco Group milik Marimutu Sinivasan, yang kabarnya merupakan teman dekat Soeharto. Direktur Utama perseroan saat ini, Martin Hutabarat, adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mewakili daerah di Sumatera Utara untuk Partai Gerindra.

Pada saat izin dikeluarkan, krisis keuangan Asia mulai memburuk dan Grup Texmaco bermasalah, dilaporkan meminjam USD 2,7 miliar dari bank-bank pemerintah. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)--badan khusus yang dibentuk untuk penyehatan sektor perbankan pasca krisis 1998 - telah mengambil alih utang Texmaco. Meskipun BPPN menawarkan Marimutu Sinivasan syarat mudah untuk memulihkan asetnya, dia tetap kehilangan banyak aset. Namun, berhasil menyelamatkan PT MRJ, tetapi, konsesi ini tidak dikelola selama bertahun-tahun.

Pada Juli 2014, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan mengeluarkan keputusan pencabutan izin PT MRJ dengan alasan tidak aktif. Perusahaan mengajukan banding atas putusan tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perusahaan mengklaim bahwa sejak 2010, meskipun belum benar-benar membuka hutan atau membangun fasilitas, mereka telah melakukan survei, berkomunikasi dengan masyarakat adat setempat dan mencoba mendapatkan izin lebih lanjut untuk memungkinkannya melakukan kegiatan terkait pembangunan, beberapa di antaranya (termasuk rencana kerja tahunan dan izin untuk membangun jalur akses) telah ditolak oleh pemerintah daerah.

Kasus berlanjut hingga tahap kasasi di Mahkamah Agung, yang memenangkan KLHK. Namun, PT MRJ mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi. Pada 20 Juni 2017, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali PT MRJ dan memerintahkan agar izinnya dipulihkan.

Pada saat itu, 133.481 ha hutan primer dan 2.109 ha lahan gambut dalam konsesi telah dimasukkan dalam peta Moratorium Hutan, tetapi lahan ini telah dihapus dari peta pada revisi ke-15 moratorium pada Desember 2018 dengan alasan bahwa, dengan validitas izin tahun 1998 yang ditegaskan kembali, justifikasi untuk dimasukkan dalam moratorium telah hilang. Selama tahun 2019 dan 2020 perusahaan dikabarkan melakukan pendekatan dengan masyarakat adat di sekitar konsesi, namun mendapat tentangan dari suku Marind di sekitar desa Selouw di Kabupaten Merauke, dan masyarakat Wambon Tekamerop yang tinggal di beberapa desa di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Ulilin, Kabupaten Merauke.

Banyak yang berubah sejak 1998 ketika izin PT MRJ dikeluarkan. Soeharto sudah lama jatuh, dan sistemnya dalam menawarkan izin penebangan yang menguntungkan kepada kroninya telah ditantang. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua diberlakukan pada tahun 2001, menegaskan kembali hak ulayat orang Papua atas tanah leluhur mereka. Di sisi lain, kawasan hutan primer lainnya yang berdekatan telah menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini berdampak terhadap keutuhan Ekoregion Hutan Hujan Dataran Rendah Papua Selatan.

Akan tetapi, di seluruh dunia ada penerimaan yang jauh lebih besar atas kebutuhan tindakan segera untuk menghadapi krisis iklim dan keanekaragaman hayati dan untuk menghormati hak atas tanah adat, yang semuanya berarti melestarikan hutan dan lahan gambut yang tersisa. Dengan menghitung biomassa di atas permukaan tanah saja, terdapat 18,9 juta ton karbon yang tersimpan di hutan konsesi PT MRJ–lebih dari jumlah yang dikeluarkan setiap tahun oleh Austria.

Oleh karena itu, tindakan pemerintah seolah-olah tidak ada cara lain untuk mencabut izin terlantar karena izinnya terbit dua dekade lalu–yang berpotensi menghancurkan hutan primer dua kali luas Singapura–sungguh tidak dapat diterima. Jika sampai saat ini pemerintah gagal memastikan kerangka hukum yang cukup kuat, maka pemerintah harus merumuskan aturan yang baik dan tidak ambigu sehingga memungkinkan kementerian untuk turun tangan terkait kasus-kasus seperti PT MRJ, dengan mengedepankan kepentingan sosial dan ekologis sebagai dasar pencabutan.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/