Hasil Analisis Greenpeace Internasional: Kasus #7

Berfokus kepada Provinsi Papua, Greenpeace melakukan kajian terhadap praktik pemberian perizinan tanah serta kaitannya dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai “Provinsi Konservasi”. Sebagian dari temuannya, yang diterbitkan dalam laporan berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” (Greenpeace International, April 2021), disajikan sebagai studi kasus. Kasus #7, selengkapnya bisa dibaca di halaman 125-127:


Pada tahun 2011, Grup Musim Mas mulai mendapatkan izin untuk empat konsesi yang terletak di hutan primer di DAS Mamberamo, Kabupaten Jayapura dan Sarmi, di utara Provinsi Papua, atas nama PT Daya Indah Nusantara (PT DIN), PT Wira Antara (PT WA), PT Siringo-Ringo (PT SRR), dan PT Megasurya Mas. Akhir 2014, keempat konsesi telah dilepaskan dari kawasan hutan. Dalam kasus PT WA dan PT DIN pelepasan kawasan hutan diberikan pada September 2014, bulan terakhir jabatan Menteri Zulkifli Hasan.

Konsesi tersebut tidak pernah dikembangkan dan saat ini ditelantarkan, karena tidak lama setelah yang terakhir dilepaskan dari kawasan hutan Musim Mas memberlakukan kebijakan keberlanjutan dan berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi. Pada November 2020, keempat perusahaan Musim Mas mengkonfirmasi kepada Greenpeace Indonesia secara tertulis bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk mengembangkan perkebunan. Dalam kasus PT Megasurya Mas dan PT SRR, mereka menyatakan tidak lagi memiliki izin yang sah untuk melakukannya.

Keempat konsesi ditandai pada peta tutupan lahan nasional sebagai hutan primer. Dalam peta awal Moratorium Hutan 2011, konsesi PT DIN dan PT WA dimasukkan dalam kawasan yang dimoratorium (dua konsesi lainnya dikecualikan karena mereka telah memperoleh izin lokasi sebelum moratorium diberlakukan).

Namun catatan korespondensi kementerian menunjukkan bahwa pada tanggal 21 Mei 2013, dua anak perusahaan Musim Mas (PT Intibenua Perkasatama dan PT DIN) bersurat kepada Kementerian Kehutanan, mengklaim bahwa lahan konsesi mereka adalah hutan sekunder dan meminta konsesi untuk dihapus dari peta moratorium. Kementerian menerima permintaan PT DIN dan konsesinya dihapus dari peta moratorium pada revisi kelima pada November 2013. PT WA kemudian menulis untuk membuat permintaan serupa pada Maret 2014, dan kementerian setuju untuk melakukan perubahan pada revisi keenam dari moratorium. Bagaimanapun pada kenyataannya konsesi PT WA telah dihapus bersama dengan PT DIN, pada revisi kelima, karena alasan yang belum dapat dipastikan oleh Greenpeace–meskipun ada kemungkinan bahwa surat dari PT Intibenua Perkasatama mungkin telah terkait dengan konsesi PT WA.

Sulit untuk melihat bagaimana kawasan yang dimaksud kemungkinan telah ditebangi atau terdegradasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi hutan primer dan oleh karena itu perlu dikeluarkan dari moratorium. Sebagian dari konsesi yang dihapus dari peta berada lebih dari 50 km dari jalan terdekat dan jarak yang sama dari desa terdekat, serta memiliki akses sungai yang terbatas. Citra satelit menunjukkan kanopi hutan rapat tanpa jalan atau area yang dibuka. Oleh karena itu, sulit untuk memahami mengapa konsesi dicabut dari moratorium, selain untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan.

Enam tahun kemudian, kondisi hutan primer tetap baik. Wilayah di sebelah utara, timur dan selatan konsesi merupakan hutan lindung dan terdapat lahan gambut yang luas di sebelah baratnya. Rencana Musim Mas telah lama ditinggalkan. Namun, konsesi tersebut tetap berada di luar kawasan hutan dan peta Moratorium Hutan, sehingga dapat dialokasikan kembali kepada investor baru. Jika sebuah perkebunan dibangun di sini, hal itu akan menimbulkan risiko besar bagi seluruh lanskap, karena ini akan menjadi pengembangan industri besar pertama di seluruh lembah Sungai Mamberamo, terkenal sebagai sistem sungai 'tidak terfragmentasi' terbesar kedua di dunia.

 

Sumber: ​​https://www.greenpeace.org/international/publication/47071/licence-to-clear/