Menuntut Perbuatan, Menuntut Pemulihan

Masih ada ketidakseragaman antarjaksa perihal pidana tambahan perbaikan lingkungan hidup. Pelatihan untuk jaksa diadakan untuk menyamakan persepsi.

Masalah kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan timbul karena ketimpangan penguasaan terhadap sumber daya alam dan kawasan hutan. Penegakan hukum dan target pelakunya merupakan hal penting.

Ketimpangan tersebut bisa dilihat, misalnya, dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 ini: dari seluruh kawasan hutan, 98,53 persen dikuasai swasta, sementara masyarakat lokal hanya 1,35 persen; sisanya, 0,12 persen, untuk kepentingan umum. Kerusakan yang terjadi bisa terlihat dari laju deforestasi hutan, yang pada 2017 mencapai 480.000 hektare per tahun. Ini masih ditambah emisi yang dihasilkan, misalnya akibat kerusakan lahan gambut yang mencapai 500 juta ton CO2/tahun (status 2008, Wetlands International, 2009). Data World Bank pada 2016 juga menunjukkan situasi yang sama di sektor perikanan: kerugian hingga US$ 20 miliar timbul karena praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU Fishing).

Salah satu upaya untuk menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) yang baik dan sehat adalah melalui penegakan hukum. Ini termasuk langkah yang paling krusial: mengejar pelaku kejahatan korporasi di sektor itu. Namun, dari hasil indeksasi 643 putusan pengadilan terkait perkara sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP, 2020), hanya 26 putusan yang mendudukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Padahal kejahatan SDA-LH oleh korporasi selama ini berdampak luas dan masif terhadap lingkungan, daya dukung lingkungan, juga keberlangsungan hidup manusia.

Berangkat dari hal tersebut, Auriga Nusantara melalui Program Peningkatan Kapasitas penegak Hukum Sektor SDA-LH perlu melakukan pendekatan terhadap penegakan kejahatan lingkungan yang lebih optimal untuk menyasar korporasi, pengurusnya maupun pengendalinya.

Pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana SDA-LH di Indonesia masih menghadapi hambatan-hambatan hukum yang harus diatasi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang masih warisan Belanda (Dutch Penal Code) belum ada aturan pertanggungjawaban pidana korporasi. Padahal pengaturannya kemudian dituangkan dalam berbagai undang-undang. Hal ini menyebabkan pengaturan yang berbeda-beda di setiap sektor yang terkait SDA-LH. Maka, penting bagi penegak hukum, dalam hal ini jaksa, untuk memiliki pengetahuan dan kapasitas yang mumpuni terkait upaya penuntutan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.

Di sisi lain, dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, terdapat instrumen penegakan hukum yang ditujukan bagi badan usaha/korporasi yang diadopsi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, yaitu Pidana Tambahan Perbaikan Lingkungan Hidup akibat Tindak Pidana Lingkungan Hidup–pada pasal 119 huruf c. Instrumen ini menempatkan pemulihan lingkungan sebagai orientasi penegakan hukum karena, dalam kerusakan lingkungan, korban tidak hanya manusia, melainkan lingkungan itu sendiri.

Perbaikan Akibat Tindak Pidana (PATP) mulai diterapkan dalam beberapa kasus SDA-LH karena sering pidana pokok berupa denda bagi badan usaha tidak memadai untuk menanggulangi akibat kejahatan. Pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana, yang bertujuan memulihkan lingkungan yang tercemar dan/atau rusak.

Berangkat dari pengalaman dan praktik penegakan hukum di Indonesia, Auriga Nusantara kemudian menjalin kerja sama mutual dengan Badan Pendidikan dan Latihan (Badan Diklat) Kejaksaan Agung RI. Hal ini perlu mengingat masih ditemukan ketidakseragaman di antara jaksa dalam penuntutan maupun eksekusi. Penting bagi jaksa yang menangani perkara SDA-LH untuk meningkatkan pemahaman maupun keterampilannya terkait pentingnya orientasi pemulihan, metode penghitungan pemulihan, menuangkan dalam tuntutan, hingga pelaksanaan eksekusi.

Berdasarkan kedua latar belakang tersebut, Yayasan Auriga Nusantara bekerja sama dengan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI kembali menyelenggarakan Pelatihan Penuntutan Korporasi dalam Kejahatan SDA-LH dan Penerapan Pidana Tambahan Perbaikan Akibat Tindak Pidana LH. Berlangsung di Medan mulai 25 sampai 30 Juli 2022, pelatihan tematik ini dibuka Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI, Tony T. Spontana. Pelatihan ini merupakan tindaklanjut dari nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani bersama pada 11 April 2022 di Jakarta terkait Peningkatan Kapasitas SDM Kejaksaan Soal Penanganan Perkara SDA-LH.



Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, dalam sambutannya bercerita: “Dulu, ada perusahaan yang tidak mengakui kejahatan yang dilakukan oleh anak perusahaannya, namun setelah banyak hasil kajian soal keterkaitan perusahaan, kemudian mereka mengakui dan membayar denda atas kejahatan anak perusahaannya.” Hal itu, menurut dia, lalu menjadi dasar mengapa pelatihan ini penting, agar ada pemahaman dan kesamaan tindakan penegak hukum.

Pada saat membuka pelatihan, Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI, Tony T. Spontana, menyampaikan bahwa besarnya kerugian akibat kejahatan korporasi di sektor sumber daya alam “mewajibkan kejaksaan sebagai pemegang kewenangan penegakan hukum untuk menuntut korporasi setimpal dengan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya”. Jadi, dia menyatakan, program ini merupakan agenda penting untuk meningkatkan kapasitas jaksa agar kejahatan SDA-LH bisa dituntut maksimal dan kerugian negara bisa dikembalikan. “Tidak cukup hanya menuntut perbuatan, tapi perlu menutut pemulihan atas kejahatan terhadap sumber daya alam,” katanya.

Pelatihan diikuti 34 jaksa penuntut umum dari delapan wilayah kejaksaan tinggi (Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, dan Sumatera Utara sebagai tuan rumah). Salah satu peserta dari Kejaksaan Negeri Langkat, Sri Makhrani, menyatakan pelatihan ini “sangat kami butuhkan untuk pemahaman lebih dalam bagaimana menyasar korporasi sebagai yang bertanggung jawab dalam tindak pidana SDA-LH”. Ia berharap pelatihan ini dapat dilaksanakan berkala dan terintegrasi dengan aparat penegak hukum lain, untuk menyamakan persepsi.

Sementara itu, Asrul dari Badan Diklat, pendamping kegiatan, menyatakan pelatihan ini sangat bermanfaat untuk para jaksa dalam kasus tindak pidana lingkungan. “Karena kenyataan di lapangan sering kali kejahatan yang dilakukan korporasi jarang terangkat, lebih banyak ke subyek hukum perorangan. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan ada upaya pemulihan lingkungan terkait tindak pidana tersebut,” katanya.



Roni Saputra Radjo Batuah, Direktur Hukum Auriga Nusantara, selaku fasilitator bersama Maria Louisa, turut memperkaya khazanah pengetahuan dengan mendampingi para narasumber yang ahli di bidangnya. Hari pertama hadir Dr. Yunus Husein, SH, LL.M., ahli anti money laundering. Pada sesi berikut akan disi oleh Agus Widyantoro, S.H, M.H. dan Dr. Maradona, S.H, LL.M. dari Universitas Airlangga; Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H, LL.M. dari Universitas Indonesia; serta pengajar-pengajar senior Badan Diklat Kejaksaan RI.

Setelah mengikuti pelatihan, semua peserta diharapkan dapat menjadi jaksa penuntut umum yang kompeten dalam menuntut perbuatan dan menuntut pemulihan.

(NFS)