Peran Aktif Pemda Mendorong Perbaikan Tata Kelola Sawit

Diskusi ini dilaksanakan untuk menunjang tata kelola industri sawit yang lebih baik, khususnya di Papua dan Papua Barat.

Sektor industri merupakan salah satu bisnis besar dan potensial bagi keuangan negara baik di pusat maupun daerah. Namun, sistem perizinan sawit yang tidak transparan dan akuntabel menimbulkan dampak buruk terhadap tata kelola sawit di Indonesia. Banyak izin yang diterbitkan tanpa melalui prosedur yang benar dan sarat konflik kepentingan. Dampaknya adalah kasus korupsi merajalela dalam proses penerbitan izin tersebut. Selain korupsi, buruknya sistem perizinan sawit juga berdampak terhadap tumpang tindih lahan. Sengkarut soal perizinan ini juga terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Peran aktif Pemerintah Daerah melalui dinas-dinas terkait merupakan salah satu upaya dalam perbaikan tata kelola sawit. Hal ini tidak lepas dari kewenangan perizinan yang dimiliki oleh dinas-dinas baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. “Saat ini terdapat 55 unit perusahaan sawit yang terdaftar di Papua. Sasaran evaluasi yang dilakukan oleh Bidang Perkebunan terfokus pada wilayah Keerom, Nabire, dan Sarmi”, kata Samuel Siriwa, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Papua dalam kegiatan Focus Group Discussion (Diskusi Terfokus) dengan tema “Perbaikan Tata Kelola Perizinan Sawit untuk Optimalisasi Keuangan Negara” yang dihadiri oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan difasilitasi oleh Auriga Nusantara, Selasa (27/9/2022) di Swisbel-hotel Jayapura.

Pada kesempatan yang sama, Doddy Sambodo, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini Pemda melihat belum banyak keuntungan yang dapat diambil oleh masyarakat dengan hadirnya industri sawit. Selain konflik antara masyarakat dengan korporasi, banyak perusahaan sawit juga bermasalah dalam beberapa perizinan. Pemerintah sendiri terus berusaha untuk mendapatkan kepastian hukum dari status perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Salah satu, mekanisme yang ditempuh adalah dengan membawa persoalan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Dengan membawa persoalan izin ke Pengadilan, kami berharap mendapatkan kepastian status dari perusahaan yang ada di wilayah kami, dengan begitu kami tahu bagaimana Pemda memperlakukan mereka”, ungkapnya.

Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir Pemerintah juga gencar melakukan evaluasi dan penertiban terhadap industri sawit yang bermasalah. Di Papua sendiri, Pemerintah melalui Pemerintah Daerah dengan didampingi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dukungan beberapa organisasi masyarakat sipil melakukan evaluasi terhadap 107 perusahaan. Dari 107 perusahaan tersebut, saat ini hanya 55 perusahaan yang memiliki perizinan yang legal. Meski begitu, dari 55 perusahaan, beberapa perusahaan masih terindikasi memiliki persoalan seperti tidak ber-HGU hingaa tidak beroperasi pada wilayah izinnya. Pemda hingga saat ini terus mendorong penegakan hukum dari hasil evaluasi tersebut.

Demi turut memberikan dukungan terhadap upaya tersebut, Auriga Nusantara mengadakan FGD bersama dengan Pemda. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Bappeda Provinsi Papua, Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura, Yayasan EcoNusa, dan World Resource Institute (WRI) Indonesia. 

Selain di Jayapura, Auriga juga memfasilitasi FGD di Manokwari pada 29 September 2022. Kegiatan yang dilakukan di Aston-Niu ini dihadiri Bidang Perkebunan Provinsi Papua Barat, DPMPTSP Provinsi Papua Barat, Dinas Perkebunan Kabupaten Manokwari, perwakilan Perkumpulan Oase, dan perwakilan Yayasan Mnukwar. Melalui dua kali kegiatan FGD ini diharapkan akan ada perbaikan tata kelola dalam industri sawit, utamanya terkait perizinan sehingga industri ini dapat memberikan kontribusi kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat. FGD ini dipandu oleh dua peneliti Auriga, Wiko Saputra dan Sadam Afian Richwanudin.