Penegakan Hukum Kejahatan Satwa Liar dalam Lanskap Ekonomi

Sebuah diskusi daring diselenggarakan untuk melihat kompleksitas penegakan hukum dan penanganan kejahatan satwa liar di Indonesia.

Perdagangan satwa liar ilegal adalah salah satu kejahatan terorganisir transnasional yang menghasilkan miliaran dolar setiap tahunnya. Problemnya rumit, begitu pula upaya penegakan hukumnya.

Melihat persoalan tersebut Auriga Nusantara bersama dengan Anti-Corruption Learning Center (ACLC) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan diskusi daring dengan tema “Penegakan Hukum Kejahatan terhadap Satwa Liar dalam Lanskap Perekonomian Negara”. Diskusi pada 23 Juni 2022 ini mengulik kompleksitas persoalan penegakan hukum dan penanganan kejahatan satwa liar di Indonesia. Tujuannya adalah melihat bagaimana perdagangan satwa liar digunakan sebagai modus pencucian uang, dan bagaimana pula kejahatan itu berdampak bagi perekonomian negara.


Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini adalah Dwi Nugroho Adhiasto, counter wildlife trafficking specialist; Osmantri “Abeng”, wildlife crime specialist, WWF Indonesia; dan Taufiq Purna Nugraha, peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bertindak sebagai moderator adalah Irene Margareth Pinondang, mahasiswa doktoral University of Kent.

Perburuan satwa liar untuk perdagangan ilegal merupakan kejahatan besar yang sering dianggap sebelah mata. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menyebutkan perdagangan ilegal menimbulkan kerugian US$ 7-23 miliar per tahun.

Dalam paparannya, Dwi Nugroho menyampaikan saat ini dari 240 lebih operasi penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum Indonesia, 40 persen di antaranya berasal dari modus perdagangan daring (online). Modus ini paling sulit ditanggulangi karena memanfaatkan teknologi Internet. Kesulitan itu terlihat dari bagaimana penyidik dapat mengungkap dan menangkap pelaku beserta barang buktinya dan menemukan modusnya. Modus ini lebih sulit dibandingkan dengan hanya perdagangan konvensional, yakni pertemuan langsung antarpara pelaku. 

Ada empat modus lain dalam penyelundupan satwa liar. Pertama, modifikasi pengemasan. Contohnya: burung paruh bengkok diselundupkan ke Filipina menggunakan pipa pralon. Modus kedua adalah penyelundupan dengan memalsukan isi dokumen. Misalnya dokumen yang isinya adalah bill of lading–surat perjanjian pengangkutan barang, melibatkan pihak pengirim, pihak pengangkut, dan pihak penerima–untuk frozen fish (ikan beku), tapi sebagian di antaranya dicampur dengan daging trenggiling beku.

Modus ketiga adalah pemalsuan. Produk-produk asli seperti taring harimau ataupun taring beruang dipalsukan dengan tujuan memaksimalkan keuntungan bagi pelaku.

Modus keempat adalah pencucian uang. Perdagangan ilegal satwa liar dengan putaran uang miliaran dolar sering dipakai untuk menciptakan usaha atau kegiatan yang legal, untuk menutupi ataupun mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan itu. Banyak yang menciptakan perusahaan-perusahaan fiktif, inactive company, sebagai kendaraan bisnis ilegalnya. Hal ini menjadi tantangan buat aparat penegak hukum, penyidik, dalam menggunakan “jaring” TPPU (tindak pidana pencucian uang) untuk bisa mengidentifikasi corporate crimes, jaringan yang menggunakan suatu bisnis untuk mengoperasikan bisnis legal lainnya.

Sementara itu, Osmantri “Abeng” mengungkapkan perburuan satwa liar saat ini memang sangat mengkhawatirkan. Menurut dia, melacak asal pelaku perburuan satwa dapat dimulai dari masyarakat tepi hutan maupun orang-orang yang dikerahkan oleh pemodal untuk melakukan perburuan di kawasan hutan. Ia menambahkan, jika dilihat perbandingan kasus pada 2021-2022, setidaknya 25 kasus telah ditangani aparat penegak hukum, dengan komposisi kasus terbesar di Sumatera Barat.

Peneliti BRIN, Taufiq Purna Nugraha, menyampaikan besarnya sirkulasi perputaran uang dalam kejahatan satwa liar di dunia. Perkiraan omzetnya antara US$ 7-23 miliar atau Rp 100-340 triliun. Menurut data pemantauan pasar gelap yang dilakukan oleh Havoscope, perputaran uang dari kejahatan satwa liar mencapai sekitar Rp 15 triliun. Perhitungan kerugian yang banyak digunakan umumnya berdasarkan harga di pasaran. Nilai-nilai ini berguna untuk memberikan gambaran perputaran uang dalam bisnis kejahatan hidupan liar, yang memang sangat besar. 

Menurut Taufiq, ada beberapa kerugian lain yang terjadi dalam kejahatan satwa liar. Kerugian ini antara lain adalah kerugian individu satwa itu sendiri, kemudian kerugian biaya mitigasi, yang seharusnya biaya untuk rehabilitasi. Lalu biaya untuk menaikkan populasi dari spesies yang terancam punah. Kemudian terdapat juga natural capital value, yaitu kuantifikasi nilai ekonomi sektor yang terdampak.

Selain itu, terdapat juga dampak terhadap jasa ekosistem (ecosystem services), kerugian yang dihitung dari nilai ilmiah, biaya pengawasan, dan biaya penegakan hukum.

Perdagangan satwa liar yang tidak ditangani dengan baik dapat merusak kepercayaan publik dan reputasi pemerintah. Semenjak 2010-2015, dari total permohonan izin tenaga asing ke Indonesia, 8 persen adalah untuk perlindungan terkait primata. Dari 8 persen itu, 5 persennya adalah mengenai orang utan. Spesies ini memiliki nilai untuk ekosistem dan nilai ilmiah yang sangat penting.

Dari segi sanksi, para narasumber bersepakat bahwa deterrent effect saja tidak cukup dilakukan dengan meningkatkan hukuman atau denda. Dalam tiga tahun terakhir, dari 87 kasus, rata-rata hukuman hanya 8 bulan-1 tahun, dengan denda hanya Rp 2-10 juta. Penegak hukum dapat mengambil alternatif ruang perdata dengan target restorative justice. Efek jera harus diluruskan dengan melihat bagaimana upaya pencegahan kejahatan yang ada dapat mencegah repeated offenders atau pelaku yang melakukan lagi kejahatan yang sama setelah keluar dari penjara. Indonesia belum bisa melakukan evaluasi berkaitan dengan repeated offenders atau residivis yang berasal dari kejahatan satwa liar.

Taufiq mendorong pendekatan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pendekatan yang dilakukan terhadap batas ambang sebagai parameter yang digunakan untuk satwa yang terancam punah. Beberapa poin yang dapat diidentifikasi, antara lain, ganti rugi, penggantian biaya, dan penanggulangan atau mitigasi. Kemudian terdapat juga biaya kompensasi, pelaksanaan restorasi, atau penggantian (replacement).

Selain itu, penting untuk melihat penggantian atas kerugian keuangan negara, terutama biaya untuk kerusakan spesies-spesies tertentu yang menyebabkan kehilangan pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak. Terakhir adalah kompensasi atas kerugian moral, ganti rugi atas kerugian kepentingan ekonomi, obyek wisata, ekowisata jadi terganggu karena spesiesnya makin berkurang. Pendekatan perdata ini tidak bisa diterapkan untuk semua kasus, melainkan cocok untuk kasus besar. Tergugat memang harus dipidana karena kejahatannya adalah kejahatan terencana (organized crime). Tapi, kalau hanya untuk sebagai pemburu kecil, pendekatan ini tidak bisa diterapkan.

Menurut Dwi Nugroho, KPK memiliki peran dalam penanggulangan penyelundupan satwa di Indonesia. Beberapa kasus yang ada menyangkut beberapa pejabat. KPK dianggap memiliki kemampuan mumpuni untuk melacak alur penyelundupan yang berkaitan dengan pejabat yang terlibat. Dengan kata lain, penyelundupan satwa tidak hanya menjadi wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan karantina yang melakukan upaya-upaya penanggulangan perdagangan satwa liar, tapi juga dapat diawasi oleh KPK sebagai garda terdepan. Jual-beli satwa liar tidak hanya menyangkut harga valuasi barang sendiri sebagai market price-nya, tapi berkaitan juga dengan dampak jangka panjang kerugian yang diakibatkan dari kasus ini.


Rekaman Diskusi: Webinar Video

Pemaparan Dwi Nugroho Adhiasto | Counter Wildlife Trafficking Specialist | “Penegakan Hukum Kejahatan Terhadap Satwa Liar dalam Lanskap Perekonomian Negara” Dwi-PPT FOR AURIGA.ppt

Pemaparan Osmantri “Abeng” | WWF Indonesia | “Potret Kejahatan dan Penegakan Hukum Satwa Liar di Indonesia” Osmantri - Potret Kejahatan dan Penegakan Hukum Satwa Liar di Sumatera.pptx

Pemaparan Taufiq Purna Nugraha | Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) |“Kerugian Akibat Kejahatan Hidupan Liar dan Pendekatan Perdagangan sebagai Alternatif Mitigasi Kerugian” Taufiq-Kerugian pada Kasus Kejahatan Hidupan Liar - BRIN 23.06.22 (1).pptx