Perumusan Mekanisme Kolaborasi Gakkum SDA LH

Urgensi berkolaborasi dalam penegakan hukum sektor sumber daya alam terhambat ketiadaan petunjuk operasional. Diskusi ini berhasil mengumpulkan masukan.


Urgensi untuk melakukan kolaborasi, khususnya di bidang penegakan hukum sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA LH), sebetulnya tinggi. Tapi, hingga saat ini, pelaksanaannya belum maksimal.

Hal itu umumnya disebabkan oleh ketiadaan petunjuk operasional untuk melaksanakan koordinasi, baik menyangkut pembagian urusan yang dikoordinasikan maupun peran masing-masing instansi yang terlibat. Sistem penilaian kinerja yang masih terbatas, dalam lingkup peningkatan kinerja bidang masing masing, cenderung mendorong setiap K/L mementingkan sektornya sendiri sehingga timbul ego sektoral yang menghambat sinergi antarsektor.

Menindaklanjuti hal tersebut, telah diselenggarakan focus group discussion (FGD) Perumusan Mekanisme Kolaborasi Gakkum SDA LH. Kegiatan yang dilaksanakan pada 23 Maret 2022 ini merupakan wadah untuk berbagi informasi dan mendapatkan masukan menyangkut praktik penegakan hukum sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup. Peserta yang hadir merupakan perwakilan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Secara umum, dapat disimpulkan kendala terbesar pelaksanaan kolaborasi adalah ketiadaan kepemimpinan (leadership), anggaran, dan kendala nonteknis. Perihal aspek kepemimpinan, diharapkan terdapat satu lembaga yang secara struktur berada di atas kementerian sektor dan bersifat independen, sehingga mampu mengorkrestasi upaya kolaborasi yang akan dilakukan.

Hal lain berkaitan dengan dengan kejelasan output kinerja personel di masing-masing lembaga. Formalitas ini menghambat semangat kolaborasi karena penilaian kinerja hanya berfokus kepada pencapaian internal. Sementara dalam dalam konteks anggaran, perlu dipertegas alokasi untuk kegiatan yang muncul di tengah jalan dalam konteks kolaborasi. Dalam hal ini, isunya adalah K/L atau institusi mana yang akan mengakomodasi anggaran yang ditujukan untuk kasus-kasus tertentu.

Berbagai informasi dan masukan yang disampaikan dalam FGD ini akan menjadi bahan penyusunan mekanisme kolaborasi penegakan hukum sektor SDA-LH. Ke depannya, mekanisme ini diharapkan dapat mengisi kekosongan pedoman operasional kolaborasi penegakan hukum sektor SDA LH.