Politik Tata Ruang dan SDA di Sulawesi Tengah

Pengalaman Sulawesi Tengah selama ini menjadi pembelajaran perlunya reformasi elektoral, termasuk demi pembaharuan tatakelola sumberdaya alam.

Virtual, 5 November 2020--Sulawesi Tengah merupakan provinsi dengan kekayaan sumberdaya alam yang tinggi. Pendapatan asli daerah (PAD) dan perekonomian provinsi ini bahkan bergantung pada ekstraksi sumberdaya alam. Industri nikel Morowali, misalnya, adalah salah satu sektor industri terbesar di Asia Tenggara dan terhubung dengan rantai ekonomi dunia. Dengan potensi ekonomi yang besar ini, tidak mengherankan kalau banyak pengusaha dan politisi daerah berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun demikian, seakan mengikuti fenomena kutukan sumberdaya, provinsi dengan daratan yang lebih kecil (44%) dibanding perairannya ini juga dihantui konflik yang tinggi yang berakar pada tumpang tindih tataruang dan penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi. Mengatasi hal ini, perlu adanya kebijakan tataruang yang tegas dan transparan, serta menjamin partisipasi publik. Pengalaman Sulawesi Tengah selama ini dapat menjadi hikmah betapa perlunya reformasi elektoral, baik demi mengurangi biaya politik maupun demi pembaharuan tatakelola sumberdaya alam, termasuk kehutanan.

Hal di atas terangkum pada webinar bertajuk Politik Tata Ruang dan SDA di Sulawesi Tengah yang diselenggarakan Auriga Nusantara dan Anti-Corruption Learning Center Komisi Pemberantasan Korupsi (ACLC-KPK) secara virtual pada 5 November 2020. 

Sulawesi Tengah merupakan provinsi dengan kekayaan sumberdaya alam yang tinggi. Pendapatan asli daerah (PAD) dan perekonomian provinsi ini bahkan bergantung pada ekstraksi sumberdaya alam. Industri nikel Morowali, misalnya, adalah salah satu sektor industri terbesar di Asia Tenggara dan terhubung dengan rantai ekonomi dunia. Dengan potensi ekonomi yang besar ini, tidak mengherankan kalau banyak pengusaha dan politisi daerah berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun demikian, seakan mengikuti fenomena kutukan sumberdaya, provinsi dengan daratan yang lebih kecil (44%) dibanding perairannya ini juga dihantui konflik yang tinggi yang berakar pada tumpang tindih tataruang dan penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi. Mengatasi hal ini, perlu adanya kebijakan tataruang yang tegas dan transparan, serta menjamin partisipasi publik. Pengalaman Sulawesi Tengah selama ini dapat menjadi hikmah betapa perlunya reformasi elektoral, baik demi mengurangi biaya politik maupun demi pembaharuan tatakelola sumberdaya alam, termasuk kehutanan.

Diskusi yang berjalan interaktif selama dua setengah jam ini dibuka oleh Sujanarko, Direktur PJKAKI KPK, sebelum diserahkan pada moderator Putut Aryo Saputro, peneliti Auriga Nusantara. Narasumber diskusi adalah beberapa ahli tentang Sulawesi Tengah yakni La Husen Zuada (Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Tadulako), Dr. Sudirman Dg. Massiri (Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako), Arianto Sangaji (Kandidat Doktor York University, Toronto), dan Dahniar Andriani (Koordinator Eksekutif Perkumpulan HUMA 2017 - 2020).

La Husen Zuada melihat telah terjadi pergeseran sumber Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah dari yang semula pertanian menjadi pertambangan. Adanya revisi yang belum selesai dari tahun 2018 terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2013 mengenai tata ruang wilayah provinsi Sulawesi Tengah, menurutnya, mempengaruhi implementasi pemanfaatan SDA di Sulawesi Tengah.

Bagi Arianto, ekonomi-politik tata kelola SDA di Sulawesi Tengah berkaitan dengan akumulasi global industri berbasis SDA, “Mau tidak mau sebetulnya ketika kita bicara tentang tata kelola, akan terkait juga dengan percakapan mengenai capital accumulations atau investasi bebas, perdagangan bebas dan sebagainya. Secara ekonomi, harus diakui karena ini adalah perusahaan asing yang melakukan investasi disitu, maka dari segi keuntungan tentu saja banyak dilarikan ke luar negeri,” ujarnya.

Tata ruang, menurut Dahniar Ariani, juga terkait dengan potensi kejahatan SDA. Dia berpendapat bahwa kejahatan sumberdaya alam tidak semata-mata dilihat sebagai sebuah kehilangan fisik tapi juga kehilangan nilai yang diyakini oleh kelompok masyarakat itu sendiri. “Dari Outlook HuMA tahun 2020, hampir tiap titik di Indonesia ini tidak lepas daripada konflik SDA itu sendiri walaupun tidak seluas wilayah Indonesia. Di Sulawesi Tengah berdasarkan catatan HuMA ada 16 konflik dengan luasan 67.586,63 Hektar. Ini data yang kami dapat bersama mitra, bisa jadi beda lagi dengan lembaga lain. Sebagian besar kasusnya terjadi di kawasan hutan. Resettlement (pemukinan kembali) dianggap sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan bagi masyarakat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya dengan kawasan hutan,” ujarnya.

Sumber daya, hutan menurut, Sudirman adalah common pool resources yang menimbulkan interdependensi sehingga butuh kebijakan dan pengaturan. “Bagaimana merumuskan kebijakan kehutanan harus memahami karakteristik 3 komponen. Kalau di Pemerintah dalam merumuskan kebijakan harus merujuk pada hukum tata negara, di masyarakat perumusan kebijakan kehutanan tidak bisa mengabaikan aturan sosial di masyarakat, yang tidak kalah penting adalah tidak mengabaikan karakteristik sumber daya hutan itu sendiri, yang biasa saya sebut dengan hukum alam seperti bentang alam, karakteristik biodiversitasnya,” ujarnya.

Webinar ini, dan kegiatan-kegiatan sejenis yang akan diselenggarakan di/mengenai 12 provinsi area kerja sama Auriga Nusantara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, diharapkan merangsang peningkatan kerjasama antar-ahli di tingkat daerah dengan pusat. Tentu, juga mengangkat isu-isu terkait di daerah tersebut, terutama yang sering luput dari perhatian umum. (BR/SA) 


Narasumber dan presentasi