Tantangan Eksekusi Kallista Alam

Kasus PT Kallista Alam telah diputus pengadilan delapan tahun lalu tapi eksekusinya mandek. Webinar melihat masih ada potensi upaya untuk menjalankannya.


Delapan tahun telah berlalu, putusan kasus PT Kallista Alam tidak kunjung dieksekusi. Perusahaan ini diwajibkan membayar ganti rugi Rp 366 miliar karena melakukan pembakaran hutan di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Nilai itu terdiri atas kerugian negara Rp 114,3 miliar dan pemulihan lahan Rp 251,76 miliar. Meski telah ditetapkan bersalah melalui putusan pengadilan, perusahaan sawit ini terus berupaya melawan secara hukum. Perlawanan ini dapat diduga agar perusahaan dibebaskan dari hukuman membayar denda dan biaya pemulihan hutan gambut yang telah dirusak.

Melihat realitas tersebut, Auriga Nusantara bekerja sama dengan ACLC KPK mengadakan webinar bertema “Meninjau Tantangan Eksekusi Putusan PT Kallista Alam” dengan mengundang akademisi dari berbagai latar belakang. Kegiatan yang dilaksanakan pada 14 April 2022 melalui media daring ini menghadirkan Mawardi Ismail (pakar hukum di Aceh), M. Gaussyah (Dekan FH Universitas Syiah Kuala), Monalisa (dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala), dan Rony Saputra (Direktur Hukum Auriga Nusantara).

Dimoderatori Nur Syarifah (peneliti Auriga Nusantara), diskusi secara umum ini ingin melihat kembali persoalan yang dihadapi penegak hukum maupun pihak lain yang terkait perihal buntunya eksekusi kasus kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan Kallista Alam. Swasti Putri, mewakili ACLC KPK, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen KPK dalam pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam (SDA).

Menurut Mawardi Ismail, dalam lingkup yang luas terdapat tiga hal utama yang menjadi perhatian terkait kasus ini. Pertama, kebijakan Aceh dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Kedua, pengelolaan kawasan ekosistem Leuser (termasuk di dalamnya adalah kawasan Rawa Tripa) dan kasus Kallista Alam sendiri, yaitu persoalan perusakan lingkungan dan eksekusi yang berlarut-larut.

Sejatinya, pengaturan tata kelola SDA di Aceh bukanlah kebijakan lokal yang terpisah dari pengaturan di tingkat nasional, melainkan kebijakan nasional yang berlaku di Aceh. Paradigma ini dipandang penting untuk memahami kembali bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah dalam tata kelola SDA di Aceh. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pemerintah menugaskan pemerintah daerah untuk mengelola kawasan ekosistem Leuser. Hal ini tidak lepas dari Leuser sebagai kawasan yang menarik perhatian banyak pihak sejak kisaran 1998. Dari penugasan ini lahirlah Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) pada 2006. Namun seiring pergantian tampuk kepemimpinan pemerintah provinsi, pendekatan yang dilakukan pun berbeda. Pada 2012, BPKEL dibubarkan. Beberapa anggotanya kemudian mendirikan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Pada tahun yang sama, kasus Kallista Alam mencuat karena tindakan perusahaan itu merusak kawasan Rawa Tripa (yang juga merupakan kawasan Leuser). Setelah dua tahun melalui proses peradilan, Kallista Alam diputuskan bersalah. Menurut M. Gaussyah, sebenarnya seluruh proses pengadilannya telah selesai. Saat ini, pilihannya terletak pada political will dari pengambil kebijakan untuk melakukan eksekusi.

Kewenangan eksekusi menjadi masalah karena terdapat pemekaran wilayah dalam proses litigasi kasus tersebut. Perihal masalah ini, menurut Gaussyah, harus segera dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue sebagai wilayah yurisdiksi obyek sengketa. Sudah semestinya PN Meulaboh sebagai pengadilan yang pertama kali menangani kasusnya segera memberikan delegasi kepada PN Suka Makmue untuk melakukan eksekusi. Jika upaya ini terus berlarut, Gaussyah menyarankan Mahkamah Agung mengambil alih proses eksekusi ini.

Berkaitan dengan peran KPK, Gaussyah menuturkan, jika bersandar pada Pasal 6 Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, maka KPK memiliki tugas melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, dalam undang-undang yang sama, Pasal 9 menegaskan dalam melaksanakan tugas monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, KPK berwenang mengkaji sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan. Dengan dasar hukum itulah, menurut dia, KPK dapat berperan mendorong segera terlaksananya eksekusi agar silang sengkarut ini segera usai.

Berlarutnya persoalan eksekusi, menurut Mawardi Ismail, dapat menimbulkan tiga dampak negatif. Pertama, adanya ketidakpercayaan terhadap penegak dan penegakan hukum. Kedua, gagalnya pembangunan hukum di masyarakat. Ketiga, timbul potensi terjadinya main hakim sendiri di masyarakat.

Sementara itu, Monalisa mengungkapkan kondisi di Rawa Tripa juga tidak terlepas dari realitas sosialnya. Masyarakat setempat belum mengenal praktik inovasi dalam pengelolaan lahan gambut, baik paludikultur maupun canal blocking atau sekat kanal.

Selain itu, hingga saat ini, belum ada kelompok yang memang berfokus kepada pengelolaan lahan gambut di kawasan itu. Hal ini mengakibatkan sawit masih menjadi tanaman idola, baik bagi perusahaan maupun warga. Padahal sejatinya kawasan itu memiliki banyak potensi seperti ikan, kerang lokan, limbek, hingga jeruk Seuna’am. Monalisa menyarankan pihak luar yang ingin mengelola lahan di kawasan Rawa Tripa berdiskusi dengan benar dan mengakomodasi keinginan masyarakat agar dapat mencegah eskalasi konflik sosial di masyarakat.

Rony Saputra, dalam paparan sesi pamungkas, menuturkan bahwa secara umum perusakan lingkungan dapat dianggap telah merugikan perekonomian negara. Sebab negara harus menanggung beban pemulihannya. Berdasarkan hal itu, tuntutan pemulihan kondisi lingkungan akibat perbuatan perusakan/pencemaran dapat dilakukan dengan pendekatan pidana, termasuk menggunakan instrumen hukum pidana korupsi.

Selain itu, penindakan terhadap kejahatan lingkungan harus menjadi perhatian karena dampak kerusakannya sangat luas, mulai dari pemanasan global, rusaknya ekosistem, hingga kerugian bagi perekonomian negara. Pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus dilakukan dengan bijaksana dan sebaik mungkin, memperhatikan banyak faktor pendukung. Sebab pemulihan dari kerusakan/kepunahan memerlukan waktu yang sangat lama, bahkan biaya yang tidak sedikit.

Pada akhirnya, webinar ini memberikan dua poin utama kepada kita. Pertama, masih terbuka banyak potensi upaya untuk mendorong eksekusi putusan kasus PT Kallista Alam. Eksekusi ini bukan hanya tanggung jawab ketua PN, tapi semua pihak yang terkait. Kedua, perlu pendekatan lintas multi-disiplin untuk mewujudkan pemulihan lingkungan demi terwujudnya kondisi lingkungan yang lebih baik bagi masyarakat. KPK dapat berperan mengevaluasi administrasi dalam proses pengadilan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong pelaksanaan putusan PT Kallista Alam.

Link rekaman webinar:
https://www.youtube.com/watch?v=2GhO2eYlNqQ&ab_channel=AurigaNusantara
Link Materi Mawardi Ismail:
https://drive.google.com/drive/folders/11mbxqOeSbUIuZJdYNTAVjAbKunGb4HCK
Link Materi M. Gaussyah:
https://drive.google.com/drive/folders/1Zz0bd7QtSrF8t2wLDzQQe6KfDIEOWk2P
Link Materi Monalisa:
https://drive.google.com/drive/folders/1gLP_b0AEp2DItDN5yB-fcD5-qJH79TlP
Link Materi Rony Saputra:
https://drive.google.com/drive/folders/15WkwzqmJsgUOD9SXA8xwyaLVePm_RPka