Menelisik Pencuci Uang di Sumber Daya Alam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 mengenai judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)  membawa konsekuensi baru. Dalam putusan itu MK menyatakan Penjelasan Pasal 74 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai “penyidik tindak pidana asal adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”. Hal ini terungkap dalam webinar Bincang Hukum#6: Menakar Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh PPNS Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 pada Jumat (3/9) siang.

Webinar yang dipandu oleh Nur Syarifah dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube (link)  ini diselenggarakan oleh Auriga Nusantara. Narasumber adalah Fithriadi Muslim, S.H.,M.H. (Direktur Hukum PPATK), Irene Putri, S.H.,M.H. (Kepala Subdirektorat Tindakan Hukum dan Pelayanan Hukum Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI), dan Prof. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin).

Fithriadi Muslim dalam paparannya menyampaikan, jika penjelasan pasal 74 UU TPPU tidak dibatalkan oleh Mahkamah, harapan untuk mewujudkan multi-investigation akan sulit tercapai. Sebab, ada pembatasan mengenai kewenangan melakukan penyidikan. Selain itu dalam kasus TPPU sangat disayangkan jika tindakan masih ditekankan pada pemenjaraan orang dan bukan pada aset-asetnya, sehingga perlu ada financial investigation agar lebih optimal.

Fithriadi mengungkapkan ada tujuh tahapan atau aksi yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi ini, yaitu: (1) peningkatan kapasitas dan kemampuan penyidik tindak pidana asal melalui pusdiklat atau financial intelligence institute,(2) menyusun pedoman penanganan TPPU, (3) mendorong kebijakan parallel investigation dan optimalisasi asset recovery, (4) mendorong pembentukan unit khusus penanganan TPPU, (5) rencana membangun kerjasama domestik, (6) membentuk komite TPPU, dan (7) diperlukan upaya membangun kerjasama internasional.

Irene Putri, yang menjadi pembicara berikutnya, menilai  perluasan kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan TPPU sesuai dengan asas peradilan sederhana,  efektif dan efisien, dan meminimalisasi terjadinya bolak-balik berkas perkara. Ia menekankan  poin penting dari penegakan hukum TPPU adalah memastikan pemulihan aset dapat dilakukan, sehingga setiap tahapan proses penegakan hukum tersebut perlu mendukung terwujudnya asset recovery berupa penelusuran aset, pengelolaan aset, termasuk engagement lintas sektoral. 

Irene mengatakan tantangan yang dihadapi oleh PPNS TPPU adalah kompetensi dalam menangani perkara TPPU, sebab ada banyak aspek yang perlu dikuasai, terutama dalam hal optimalisasi pemulihan aset. Ada beberapa tipologi perkara yang menunjukkan  bentuk modus-modus yang lebih kompleks, yaitu: (i) mendirikan perusahaan fiktif dengan dalih usaha; (ii) menggunakan jasa money changer; (iii) melaporkan rekening bank sudah ditutup; (iv) menggunakan perantara/gatekeeper--bisa pengusaha, notaris, atau pejabat lainnya--untuk mengaburkan asal-usul uang agar seolah-olah uang tersebut bukan dari hasil tindak pidana; (v) membeli aset dengan harga tinggi secara tunai dan diatasnamakan orang dekat yang tidak mempunyai hubungan keluarga; (vi) membawa uang tunai dalam jumlah besar; (vii) transaksi keuangan yang dipecah-pecah dengan maksud untuk menghindari pelaporan; dan (viii) menikah dengan lebih dari satu orang, tetapi tidak didaftarkan dengan tujuan untuk menjauhkan (layering) asal usul harta kekayaan. Hal-hal inilah yang perlu dikuasai dalam menyelesaikan perkara TPPU.

Selanjutnya, Andi M. Sofyan membahas mengenai pembuktian terbalik dalam kasus TPPU. Dia menyatakan ada hak-hak terdakwa yang dilindungi oleh hukum untuk mengajukan alat bukti di persidangan, untuk membuktikan apakah hartanya benar diperoleh dengan cara yang melawan hukum atau justru sebenarnya diperoleh secara sah. 

Dalam hal ini pengaturan sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan dan harus dipertimbangkan sebagai “lex specialis” dengan menerapkan asas praduga bersalah (presumption of guilty). Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Mengenai perluasan kewenangan penyidikan TPPU oleh PPNS, Prof. Andi memberikan beberapa saran. Pertama, perlu adanya penegasan perluasan kewenangan dengan penyesuaian peraturan perundang-undangan. Kedua, perlu ada peningkatan kualitas penyidikan tindak pidana pencucian uang bagi PPNS terutama penguasaan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

 

Narasumber dan presentasi:

 

Waktu dan Media

 

Hari/Tanggal: Jumat,/ 3 September 2021

Pukul: 14.00-16.00 Wib

Media: Kanal Youtube Auriga Nusantara