"Tantangan Penegakan Hukum Tata Ruang Pasca-UU Cipta Kerja"

Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja menjadikan ramai pembahasan tentang penegakan hukum tata ruang. Hal ini tidak sepenuhnya berhenti bahkan setelah keluar Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2021, yang mengatur perihal penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah.

Bincang Hukum #8 diadakan untuk mendiskusikan hal itu, khususnya yang berkaitan dengan adanya perubahan kewenangan penyelenggaraan tata ruang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan terutama dalam penanganan keterlanjuran serta pelanggaran tata ruang. Tema kali ini adalah “Tantangan Penegakan Hukum Tata Ruang Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Terselenggara sebagai kerja sama Auriga Nusantara dengan Anti Corruption Learning Center Komisi Pemberantasan Korupsi (ACLC KPK), forum ini dilaksanakan secara daring melalui StreamYard dan disiarkan langsung lewat akun YouTube Auriga Nusantara. Dimulai pada pukul 09.00, dan berakhir pukul 11.100, diskusi dipandu Dara Ulfah Alnesya, peneliti Auriga. Narasumber yang tampil adalah Ariodillah Virgantara, Direktur Penertiban Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara; Fauziyah, perwakilan Dinas Pekerjaan Umum Kepulauan Riau; dan Sulistyanto, Ketua Tim Program Peningkatan Kapasitas dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia dari KPK.

Sektor tata ruang menjadi sektor yang cukup kompleks jika berkaitan dengan isu sumber daya alam dan lingkungan hidup. Karenanya, perlu ada kolaborasi yang sinergis di antara para pihak terkait, terutama penegak hukum. Dan adanya peningkatan peran daerah untuk memberikan dukungan berkaitan dengan pelanggaran pemanfaatan ruang yang terjadi.

Ariodillah Virgantara sependapat dengan pandangan tersebut. Dia lalu menjelaskan implementasi dari PP No. 43 Tahun 2021 berkaitan dengan penanganan keterlanjuran terhadap hukum tata ruang. Dia mengungkapkan adanya empat bagian yang diatur dalam PP ini. Pertama, perihal penyelesaian batas daerah. Kedua, penyelesaian ketidaksesuaian rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, kawasan hutan, izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan. Ketiga, penyelesaian ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Laut, Rencana Zonasi Kawasan Strategi Nasional Tertentu, Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah, dan/atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut. Keempat, mengenai kelembagaan dan tata kelola.

Sanksi administratif untuk pelanggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 serta UU No. 26 Tahun 2007, bertujuan memberikan efek jera bagi pelanggar tata ruang. “Dengan harapan adanya tertib pemanfaatan tata ruang,” katanya. Aturan yang baru ini, menurut dia, memang lebih menekankan pada pengenaan sanksi administratif. Jika pada kenyataannya sanksi administratif tidak mendapatkan dukungan pemerintah daerah atau pihak yang melanggar tidak beritikad baik, akan dilakukan penindakan sanksi pidana.

Kemudian, Roni Saputra menjelaskan penegakan hukum dalam UU No. 26 Tahun 2007 jo. UU No. 11 Tahun 2020 menggunakan konsep kumulasi eksternal, yakni untuk satu perbuatan bisa dijatuhkan dua sanksi, baik administrasi maupun sanksi pidana. Dalam kedua aturan itu tidak dijelaskan sanksi mana yang dijatuhkan lebih dulu. Artinya, “Penerapan kumulasi eksternal tidak menggunakan konsep, asas, ultimum remedium,” katanya. Ini berarti pula, sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat diterapkan bersamaan.

Menurut dia, konsep itu perlu diterapkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 pasca-revisi UU Cipta Kerja. Sebab UU Cipta Kerja tidak tegas dan lugas menyatakan penggunaan asas ultimum remedium, khususnya terkait tata ruang. “Pembuat undang-undang tidak menegaskan seperti itu,” katanya, seraya menegaskan bahwa hal ini merupakan kewenangan legislator, bukan pelaksana undang-undang.


Fauziyah memaparkan kondisi strategis Provinsi Kepulauan Riau, yang merupakan provinsi dengan 96 persen wilayahnya berupa laut, dan hanya 4 persen berupa daratan. Dalam kondisi itu, tantangan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam penegakan hukum tata ruang, menurut dia, “masih berkutat pada aspek pengaturan”, baik hal ihwal perencanaan, pemanfaatan, serta kelembagaan yang terlibat dalam penyelenggaraan pemanfaatan ruang.

Mengenai aspek legalnya, peraturan daerah mengenai rencana tata ruang dan wilayah Provinsi Kepulauan Riau saat ini sedang dalam tahap revisi. Peraturan yang masih berlaku adalah Perda No. 1 Tahun 2017.

Dia mengungkapkan, terkait kasus tata ruang, dari 36 yang diaudit, akan sampai pengenaan sanksi. “Ada satu lokasi yang mungkin akan diindikasikan ke pidana,” katanya.

Hal lain adalah harapan bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Provinsi Kepulauan Riau dapat ditambah jumlahnya. Menurut dia, tahun ini Provinsi Kepulauan Riau sebetulnya mengajukan lima orang untuk dilatih menjadi PPNS. “Tapi diklatnya dibatalkan,” katanya.

Dia mengungkapkan saat ini hanya ada dua PPNS di Provinsi Kepulauan Riau, satu di Inspektorat dan satu lagi di Dinas Pekerjaan Umum. Karenanya Provinsi Kepulauan Riau memerlukan dukungan berbagai pihak untuk dapat melaksanakan penegakan hukum, memaksimalkan kelembagaan yang ada, memulai untuk membuat aturan dasar supaya pengenaan sanksi, denda, dan sebagainya siap.

Terakhir, Sulistyanto menjelaskan proses koordinasi dan kolaborasi penegakan hukum tata ruang. KPK, menurut dia, sangat peduli perihal isu sumber daya alam, termasuk di dalamnya tata ruang. Dan hal ini menjadi salah satu fokus pemberantasan korupsi sejak 2009 sampai sekarang, melalui penindakan maupun pencegahan.

Dia berpendapat, kolaborasi penegakan hukum sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi urgent karena penegakan hukum yang telah dilakukan sejauh ini belum mampu menimbulkan efek jera. Penegakan hukum itu juga belum mampu mengembalikan kerugian negara yang timbul. Bahkan, penegakan hukum itu belum mampu memulihkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindak pidananya.

Kolaborasi dan koordinasi diharapkan bisa dilakukan antarpenegak hukum, sehingga satu kasus tindak pidana bisa ditangani secara efektif. Harapannya adalah kolaborasi dan koordinasi penegakan hukum sumber daya alam bisa ditingkatkan dan didorong untuk menjadi jalan pengelolaan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.


Waktu dan Media

Hari/Tanggal: Senin/ 11 Juli 2022
Pukul: 09.00-11.00 Wib
Media: Kanal Youtube Auriga Nusantara


Makalah

“Implementasi PP No. 43 Tahun 2021 Terkait Keterlanjuran dan Pelanggaran terhadap Penegakan Hukum Tata Ruang”, Ariodillah Virgantara (Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN):
https://auriga.or.id/resource/reference/implementasi_pp_nomor_43_tahun_2021.pdf

“Penegakan Hukum Pelanggaran Tata Ruang Pasca-Pemberlakuan UU Cipta Kerja”, Roni Saputra (Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara):
https://auriga.or.id/resource/reference/penegakan_hukum_pelanggaran_tata_ruang.pptx

“Tantangan Pemerintah Daerah dalam Penegakan Hukum Tata Ruang Pasca-Undang-Undang Cipta Kerja”, Fauziyah (perwakilan Dinas Pekerjaan Umum Kepulauan Riau):
https://auriga.or.id/resource/reference/kendala_penegakan_hukum.pptx

“Koordinasi dan Kolaborasi Penegakan Hukum Tata Ruang”, Sulistyanto (Ketua Tim Program Peningkatan Kapasitas dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia dari KPK):
https://auriga.or.id/resource/reference/korlab_penegakan_hukum_tata_ruang.pdf