
Oleh: Febriana Firdaus, dari Pulau Obi, dan Tom Levitt
Sebuah investigasi The Guardian terhadap penambangan nikel dan industri kendaraan bermotor menemukan bukti bahwa satu sumber air minum yang dekat dengan salah satu tambang nikel terbesar di Indonesia terkontaminasi hingga di tingkat tak aman dengan hexavalent chromium, bahan kimia penyebab kanker yang luas dikenal karena perannya dalam cerita dan film Erin Brockovich.
Investigasi itu juga mendapati bukti yang menunjukkan naiknya tingkat infeksi paru-paru di kalangan warga yang tinggal di sekitar tambang.
Tahun-tahun belakangan telah menyaksikan perlombaan di antara perusahaan tambang untuk menguasai cadangan nikel terbesar di dunia yang terdapat di Indonesia.
Nikel, komponen esensial dalam baterai kendaraan listrik (EV), bisa mengantarkan ke perubahan kesejahteraan kepada negara yang rakyatnya terdesak ke dalam kemiskinan yang mencapai 10,19 persen akibat Covid.
Meski demikian, rakyat yang hidup di Pulau Obi yang terpencil, yang belakangan menjadi lokasi salah satu penambangan nikel terbesar, hanya menginginkan air yang bersih dan aman.
Berbeda dengan mineral lain untuk menghidupkan EV seperti kobalt dan lithium—yang sudah dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia—rantai pasokan nikel sejauh ini sama sekali belum melalui pemeriksaan yang cemat.
Perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Obi menyatakan bahwa kegiatan mereka tak menimbulkan ancaman kepada masyarakat setempat. Toh warga Desa Kawasi merasa takut.
Seorang warga, Richard*, mengatakan sejak ada penambangan, air menjadi berbahaya untuk diminum.
“Di masa lalu, sebelum ada satu perusahaan, meski kami hidup tanpa listrik, kami merasa aman. Sekarang kami takut,” kata Richard. Sampel yang The Guardian ambil di dekat Kawasi dan diuji di laboratorium yang mendapat sertifikat pemerintah mendapati tingginya tingkat kontaminasi hexavalent chromium (Cr6), bahan kimia penyebab kanker.
Warga desa juga mengklaim sejak ada penambangan orang-orang mulai jatuh sakit.
The Guardian diberitahu bidan klinik desa adanya lebih dari 900 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang berpotensi mematikan di antara sekitar 4.000 warga Kawasi pada 2020. Lebih dari setengahnya dilaporkan merupakan bayi yang baru lahir atau anak berusia empat tahun atau kurang.
Menurut pejabat-pejabat kesehatan Indonesia, prevalensi ISPA di Kawasi hanya kurang dari 20 persen pada 2020, dibandingkan dengan tingkat nasional yang rata-rata 9 persen. Di samping klinik bidan, tidak ada pusat kesehatan setempat yang aktif di desa itu saat The Guardian berkunjung.
“Perbedaannya [sejak penambangan dimulai] sangat besar. Pantai masih bersih, laut tidak berlumpur seperti ini dan belum merah. Orang-orang masih memancing di depan rumah mereka,” kata seorang perawat yang sudah tinggal di desa itu sejak 2009, sebelum penambangan mulai beroperasi. “Tren [tingginya] kasus ISPA bermula pada saat yang sama dengan dimulainya eksplorasi [penambangan],” bidan ini menambahkan.
“Saya terus berpikir: apa ada masa depan bagi anak-anak?” kata Maria*, yang besar di desa.
Karena keterpencilannya yang ekstrem, tidak mengherankan kalau hingga saat ini sedikit aktivis atau wartawan yang telah mengunjungi Pulau Obi untuk berbicara dengan warga. Dari Ibu Kota, Jakarta, perlu 3,5 jam penerbangan, semalam berperahu, dan dua jam lagi di laut untuk mencapai pelabuhan Kawasi.
Bangunan-bangunan tripleks dan cahaya lampu sporadis di Kawasi begitu jauh bedanya dibandingkan ruang-ruang pamer mewah di kota yang dipuji-puji sebagai perjalanan bebas bahan bakar fosil.
Begitu turun, Anda bsa mendengar derek yang ajek berderak dan berdebam saat mendistribusikan muatan di tengah sibuknya operasi penambangan. Lokasi bernilai US$ 1 miliar, milik Harita Group yang berbasis di Indonesia dan Lygend Mining dari Cina, itu menggali dan memproses nikel untuk digunakan di baterai EV.
Produsen komponen baterai dari Cina, GEM, telah menandatangani perjanjian untuk membeli nikel dari PT Halmahera Persada Lygend, perusahaan tersebut. GEM memasok komponen baterai ke banyak pabrikan baterai terkemuka di dunia, termasuk CATL milik Cina, yang menguasai 30 persen pasar baterai global.
Penerima manfaat paling utama barangkali adalah merek-merek EV paling dikenal, dengan nikel dari tambang-tambang ini digunakan untuk menghasilkan baterai yang bisa bermuara di mobil yang dijual Mercedes-Benz dan Volkswagen (VW).Lonjakan harga nikel dan “lomba senjata baterai” telah menyaksikan demam pembangunan tambang tapi ada kekhawatiran pengawasan regulator gagal mengimbangi laju pembangunan itu.“Mereka [pemerintah Indonesia] sedang berusaha menyingkirkan hambatan agar industri ini lebih menarik bagi investor, tapi tanpa asesmen lingkungan yang memadai, ini berisiko mengingat bagaimana industrinya mengarah,” kata pakar pertambangan Indonesia, Steven Brown.Meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan tambang dan rantai pasokan atas polusi adalah hal sulit, kata Matthew Baird, pengacara lingkungan berbasis di Asia Tenggara, terutama manakala ada kemungkinan banyak sumber kontaminasi.“Operasi-operasi tambang yang besar ini bisa dibilang berada di area yang sangat tidak bisa diakses dan di sana mereka beroperasi secara de facto sebagai pemerintah lokal dari ‘kota perusahaan’,” katanya. “Perusahaan-perusahaan tambang bisa saja menyalahkan kesalahan pihak lain dan bahwa semuanya mungkin sudah benar, tapi karena mereka ada di sana, sangat mungkin mereka berkontribusi kepada masalahnya.”
*Nama-nama ini diubah untuk melindungi identitas
Sumber: https://www.theguardian.com/global-development/2022/feb/19/we-are-afraid-erin-brockovich-pollutant-linked-to-global-electric-car-boom